Ekonomi

Klarifikasi BI Soal Utang Pemerintah Dinilai Menyesatkan

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dosen FISIP UNAS/UNIDA dan pemerhati kebijakan publik Chazali H. Situmorang mengatakan penjelasan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara tentang utang pemerintah sekarang 28 persen dari PDB masih sehat, menyesatkan. Menurutnya Chazali, klarifikasi Mirza tersebut perlu diluruskan supaya masyarakat tidak tersesat.

“Saya terdorong untuk membedah soal utang pemerintah Indonesia dari sisi kebijakan publik, karena adanya pandangan para pejabat publik bidang keuangan, yang saya nilai kalau tidak diluruskan akan menyesatkan di masyarakat,” kata dia seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa (15/8/2017).

Chazali menyorot pernyataan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara yang dimuat dalam Harian Rakyat Merdeka (8/8) lalu bertuliskan kalimat ‘Gendut tapi sehat, itulah utang kita’. “Dan di saat yang sama, data BPS menunjukkan bahwa ekonomi kita saat ini sedang meriang. Artinya, akan sakit parah jika tak segera diobati,” katanya.

Selanjutnya di halaman sembilan (9), Mirza menyatakan utang pemerintah sekarang 28 persen dari PDB, artinya masih sehat. Malah, lanjut Mirza, sejumlah negara memiliki utang 100 persen bahkan lebih dari PDB. Sebut saja misalnya Amerika Serikat dan Jepang. Karena itu, Mirza mengingatkan ketika membicarakan utang pemerintah makin besar maka harus ada pembandingnya. Memang utang makin meningkat, tapi harus ada pembandingnya, yaitu ukuran ekonomi sehingga bisa dilihat utang itu sehat atau sakit.

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

Baca: Pro-Kontra Soal Utang Pemerintahan Joko Widodo

“Keterangan Pak Mirza tersebut membingungkan sekaligus ingin menenangkan masyarakat tapi dengan ilustrasi yang maaf ‘menyesatkan’. Contoh Amerika Serikat dan Jepang juga punya utang lebih dari 100 persen dari PDB itu semua orang tahu. Dan mereka bisa bayar utang dan cicilan karena cadangan aset dan devisanya sangat banyak dan berlebih dengan tingkat produktifitasnya tinggi. Tidak tepat membandingkan utang Indonesia dengan Jepang dan Amerika Serikat, tidak apple to apple membandingkan negara maju dengan negara yang sedang berkembang. Soal pembanding ukuran ekonomi, kan sudah jelas apa yang disampaikan oleh BPS, ekonomi sedang meriang, daya beli menurun, dan kedalaman kemiskinan semakin dalam. Ukuran ekonomi apalagi yang diperlukan sebagai pembanding. Apa menunggu terjadinya busung lapar, pengangguran besar-besaran, nilai rupiah ambruk, inflasi tidak terkendali dan lain sebagainya,” jelas Chazali.

Lebih lanjut, pihak BI juga menyatakan cadangan devisa cukup untuk bayar utang pemerintah, saat ini mencapai 127 miliar Dollar AS. Sumber penerimaannya dari penerbitan gobal bonds pemerintah, penerimaan pajak (tidak mencapai target), dan devisa ekspor migas bagian pemerintah serta hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Dikatakannya, apakah sumber cadangan devisa tersebut berkualitas? Menurut Bhima Yudistira pengamat ekonomi dari Indef, peningkatan cadangan devisa dinilai berkualitas rendah. Karena devisa yang berkualitas semestinya disumbang oleh kenaikan ekspor non migas, khususnya ekspor produk industri. Karena, jika peningkatan devisa disumbangkan oleh sektor finansial seperti penerbitan obligasi akan rentan mengalami penurunan.

Chazali meminta sudah saatnya para pejabat publik untuk bicara jujur, obyektif, apa adanya. Apa resiko utang yang gemuk, apa resiko jika kita gagal bayar utang dan bunganya, untuk apa utang tersebut.

“Kita tahu semuanya untuk infrastruktur. Di mana, apa jenis infrastruktrurnya, apa bermanfaat langsung bagi masyarakat umum untuk pergerakan ekonomi mereka, atau untuk kepentingan politik negara dalam rangka NKRI, dan kira-kira berapa persen pembangunan infrastruktur tersebut bocor. Apakah masa pemerintahan SBY tidak atau kurang membangun infrastruktur. Apakah infrastruktur yang dibangun saat ini merupakan kelanjutan masa SBY atau infrastruktur yang baru. Bagaimana dengan kebijakan subsidi untuk orang miskin dan tidak mampu. Apakah utang digunakan untuk subsidi dari pada membangun infrastruktur atau sebaliknya, berapa porsinya,” paparnya.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

Dan yang tidak kalah penting, kata dia, berapa besar cicilan utang yang harus dibayar setiap tahun, belum lagi utang yang akan jatuh tempo yang harus dibayar. Apakah ada kebijakan moratorium membayar bunga utang. Dengan demikian, dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur.

“Pertanyaan tersebut sebaiknya dijelaskan dan dijawab oleh para pejabat publik yang bertanggung jawab dengan data dan fakta yang akurat, tanpa dibumbui sentimen atau menyudutkan antar rezim pemerintahan,” tandasnya. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 5