NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Setahun kurang dua bulan menjelang dihelatnya Pilkada Serentak 2018, drama penangkapan kepala daerah gencar dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu kepala daerah yang dipenjarakan KPK ialah Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.
Rita Widyasari merupakan sosok calon pemimpin Kalimantan Timur (Kaltim) potensial. Bahkan, sebagian kalangan menyebut, Rita berpotensi menjadi calon tunggal di Pilgub Kaltim 2018 karena tingkat keterpilihannya sangat tinggi. Ditambah lagi, Rita adalah salah satu kader terbaik Partai Golkar di Kaltim.
Ia juga merupakan Bupati Kukar terpilih dua kali berturut-turut, menerima penghargaan Dwija Praja Nugraha, penerima penghargaan Woman Icon Of The Year tahun 2016 dari Internasional Global Leadership Awards. Di bahwa kepemimpinannya, Kukar juga menyabet penghargaan Adipura Kencana serta dipercaya sebagai tuan rumah kongres dunia ke-47 International Council of Organizations of Folklore Festivals and Folk Arts (CIOFF).
Namun tanpa dinyana, berbegai prestasi yang ditorehkan Rita terhapus oleh tangan KPK. Lembaga anti rasuah tiba-tiba menetapkannya sebagai tersangka pada 19 September 2017. Setelah itu, KPK pun menciduk dan menjebloskannya ke penjara dengan tuduhan menerima gravitasi dan suap terkait izin tambang.
Sejak saat itu, peta dan tatanan politik untuk menghadapi Pilgub Kaltim 2018 pun langsung berubah. Otomatis Rita telah dicoret sebagai calon gubernur Kaltim.
Setelah polisiti muda berusia 44 tahun itu disingkirkan, nama lain langsung mencuat ke permukaan sebagai cagub Kaltim. Golkar terpaksa mengalihkan sosok lain yang memungkinkan untuk diusung. Salah satu terkuat ialah Andi Sofyan Hasdam. Sementara itu, parpol lain mengusung nama walikota Samarinda, Syaharie Jaang.
Belakangan, PDI Perjuangan mengajukan nama sendiri. Ia tak lain adalah Kapolda Kaltim, Irjen Safaruddin. Sosok ini oleh banyak pihak disebut-sebut paling berpotensi terpilih sebagai gubernur Kaltim.
“Dari sekian banyak jenderal polisi yang ikut Pilkada, IPW hanya melihat satu figur jenderal polisi yang berpeluang besar untuk memenangkan Pilkada, yakni di Kalimantan Timur,” kata ketua presidium Indo Police Watch Neta S Pane saat mengomentari banyaknya jederal polisi yang maju di Pilkada 2018.
Menurut Neta, potensi besar itu tak terlepas dari tingginya rasa percaya diri yang tengah menyelimuti para jenderal polisi, termasuk Irjen Safaruddin di perhelatan pemilihan kepala daerah tahun 2018.
“Keberanian itu wujud dari rasa percaya diri yang tinggi yang sekaligus bisa menguji apakah Polri sudah dipercaya publik atau belum,” ujarnya.
“Namun anehnya, sebagian besar jenderal polisi yang akan ikut Pilkada itu masuk dengan menggunakan kendaraan PDIP. Apakah ini karena faktor kedekatan tokoh Polri Jenderal (Purn) Budi Gunawan dengan PDIP atau karena partai banteng itu memang membutuhkan figur-figur polisi yang dekat dengan masyarakat,” sambung Neta.
Kata Neta, terlepas dari semua itu Pilkada Serentak 2018 memang menjadi fenomena yang menarik dan patut dicermati, terutama tentang profesionalisme dan netralitas berbagai pihak. “Menariknya lagi, jika para jenderal polisi itu berhasil memenangkan Pilkada di berbagai daerah, tentunya akan semakin banyak kepala daerah dari unsur kepolisian,” ucapnya.
Artinya, semacam ada gerakan yang selama ini telah dibangun untuk mengisi jabatan kepala daerah dengan sosok-sosok dari unsur kepolsiain. Namun begitu, bagi IPW, para calon dari kepolisian itu tak akan mudah memenangkan Pilkada nanti.
Terlepas dari itu, dari pendataan IPW hingga saat ini baru tiga daerah yang benar benar serius Pilkadanya akan diikuti jenderal polisi. Di antaranya Maluku, Kalimantan Timur, dan Cirebon. Selebihnya masih mengambang.
Dengan banyaknya jenderal polisi yang ikut Pilkada, kata Neta, netralitas institusi dan anggota kepolisian memang tengah dipertaruhkan. “IPW berharap institusi Polri dan jajaran kepolisian tetap netral dan profesional serta tidak ada pemihakan. Jika jajaran kepolisian tidak netral dikhawatirkan muncul hal-hal negatif terhadap institusi Polri. Selain itu bukan mustahil ketidaknetralan tersebut bisa memicu konflik di akar rumput,” pungkasnya. (red)
Editor: Eriec Dieda