Peristiwa Bersejarah
Sudah puluhan tahun lalu, sejak saya pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Selama ini, saya sudah mengikuti berbagai fase yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Saya pernah jadi aktivis dan turut-serta berdemonstrasi di jalanan untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Bersama kawan-kawan seperjuangan saya juga pernah ikut mendirikan suatu era baru yang dinamakan “reformasi”. Lalu, diundang acara debat dan talkshow di siaran televisi, radio juga media daring.
Oleh: Muakhor Zakaria
Sering saya melihat dan mendengar banyak hal yang berhubungan dengan semangat nasionalisme atau berjuang demi kepentingan nasional. Meskipun selalu saya bertanya-tanya apa yang disebut “kepentingan” itu. Lalu, apa ukuran seseorang yang hidupnya bersemangat secara nasional.
Tapi, kalau Anda bertanya tentang pengaruh atau efek apa yang didapat dari membela kepentingan nasional, maka tak ada lain jawabannya selain stres dan depresi karena rasa muak dengan kelakuan banyak penguasa dan politisi korup yang bergentayangan di sekeliling kita, termasuk para intelektual korup juga.
Jadi, lebih baik saya ceritakan suatu kejadian yang pernah saya alami sendiri, yakni suatu peristiwa bersejarah yang membuat saya merasa tenang dan nyaman. Meskipun kejadian itu nampaknya sederhana dalam pandangan banyak orang, termasuk Anda sendiri.
Waktu itu musim hujan. Era reformasi sudah berjalan selama belasan tahun. Presiden Gus Dur telah digantikan Presiden Megawati, kemudian berganti lagi dengan Presiden Yudhoyono. Setiap pagi, sekitar pukul 07.30 saya keluar dari rumah dan pergi ke kantor pos untuk bekerja seperti biasa. Saya melangkah menuju jalan utama, lalu sampai pertigaan saya memanggil tukang ojek agar mengantarkan saya ke kantor pos.
Hujan rintik-rintik turun dari langit. Bapak tukang ojek menawarkan jaket hujan tetapi saya menolaknya, dengan alasan hujan belum sebegitu besar. Ketika ojek mulai berjalan, terasa angin kencang menampar pipi, melintasi sepanjang jalan yang mulai tersapu bersih oleh para petugas kebersihan kota.
Sesampai di salah satu perempatan jalan Malioboro, lampu merah menyala dan kami berhenti sebentar. Ketika ojek itu berbelok ke arah kanan, seorang ibu menyeberang jalan secara tiba-tiba, lalu tersenggol oleh motor yang kami tumpangi, dan ia pun terjatuh dalam posisi duduk.
Masalahnya dia memotong jalur kami secara tiba-tiba. Ibu itu pakaiannya agak compang-camping, memakai rok yang juga sudah kumal dan lusuh. Tukang ojek sudah mengerem serta membanting stir ke kiri, tetapi lengan bajunya tersangkut stang bagian kanan.
Untung saja posisinya masih di perempatan, dan motor berjalan dalam keadaan pelan.
Sekarang ibu itu masih terduduk di jalan. Tukang ojek segera memarkir motornya dan mendekati korban. Setelah memastikan bahwa ibu itu tidak terluka, dan bahwa tak ada siapa pun yang melihat kejadian tersebut di pagi hari itu, tentu saya merasa jengkel melihat tukang ojek sibuk berlama-lama mengurusi korban.
“Bisa-bisa saya terlambat ke kantor, Pak,” kata saya ketus.
“Tunggu dulu, Pak, kasihan….”
“Ayo, cepetan… perempuan itu nggak kenapa-napa kok?”
Tukang ojek tak mempedulikan saya. Tetapi justru meninggalkan motornya – dan tentu meninggalkan saya juga – lalu menyibukkan diri mencari warung yang sudah buka untuk membeli betadine, kemudian memborehi obat itu pada sedikit lecet di bagian lutut perempuan itu.
“Sekarang bagaimana? Sudah baik kan, Bu?” ia membantu ibu itu berdiri serta mendudukkannya di sebuah pilar trotoar.
“Mungkin nanti saya akan pergi ke dokter,” kata ibu itu mengiba.
Omong kosong, pikir saya.
Pasti dia ngibul. Wong terserempet sedikit dan jatuhnya pun pelan sekali.Saya melihat jelas dengan mata kepala sendiri. Tapi, karena tukang ojek itu sudah melibatkan diri dengan sukarela, saya ogah untuk membantunya. Biar sajalah dia sendiri yang mencari jalan keluar.
Kemudian, tukang ojek itu mulai membantu perempuan itu berjalan pelan-pelan. Tangannya memegang erat lengan si korban. Seketika saya terkejut. Rupanya di sekitar itu ada pos polisi lalu lintas, dan ia menuntun ibu itu menuju pos polisi.
Brengsek! (pikir saya). Ngapain dia sampai sebegitu repotnya?
Dalam kejadian singkat itu, saya merasa ada sesuatu yang aneh dan membuat penasaran. Tubuh si tukang ojek dengan kemejanya yang lusuh dan dekil itu tiba-tiba menjadi sosok berwibawa dalam pandangan saya. Saya sampai harus menjulurkan leher, berdiri pada pilar untuk melihat sosok berkharisma itu secara terang dan jelas.
Ya, bapak tukang ojek itu seakan menampar pipi saya, menepis segala keangkuhan dan keegoisan saya yang bersembunyi di balik seragam kantor yang saya kenakan.
Seorang polisi lalu lintas datang menghampiri saya sambil menenteng buku Perasaan Orang Banten yang sedang ia baca, “Silakan Bapak mencari ojek lain, karena motor ini sedang tak bisa dipakai.”
“Kalau begitu, tolong saya titip uang ongkos buat tukang ojek itu.”
Saya membuka dompet dan menitipkan uang sepuluh ribu melalui Pak Polisi itu.
Sekarang hujan rintik-rintik sudah berhenti sama sekali. Jalanan Malioboro yang terbentang di hadapan saya seolah teronggok mati dalam kesunyian.
Saya memutuskan untuk jalan kaki menuju kantor, seraya berpikir tentang tema-tema nasionalisme, semangat nasional maupun demokrasi, yang selama ini saya beradu argumen dan berdebat mati-matian selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, tanpa pernah menemukan jalan keluar yang baik dan tepat sasaran.
Sampai sekarang pun saya masih teringat peristiwa bersejarah di pagi itu. Suatu kenangan yang membuat saya merasa tersipu malu pada diri sendiri, karena seakan dipaksa untuk melihat sosok dan kredibilitas saya sendiri.
Segala pencapaian politik dan kepentingan nasional seakan terlupakan dalam benak saya. Bahkan segala buku pelajaran yang mengajarkan pendidikan moral bangsa di sekolah dulu, juga tak sempat terpikirkan oleh saya.
Tetapi, kejadian kecil yang pernah saya alami bersama tukang ojek itu, masih terus mengebor ingatan saya. Membuat saya harus terus berkaca-diri, introspeksi-diri, serta menyulut semangat perubahan untuk membangun peradaban bangsa ini ke arah yang lebih baik… (*)