NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Salah satu kritik adalah bahwa Permen ini memberi izin pengelolaan kawasan mereka ke pihak luar. Izin tersebut ditakutkan diselewengkan implementasinya.
Menurut peneliti Network for South East Asian Studies (NSEAS), Andris Yunus Assik, ada kepentingan politik dan bisnis yang dimiliki pemerintah. Rata-rata menjadi program Perum Perhutani adalah daerah sangat berpotensi, baik pertanian atau bisnis. Contoh di Karawang, yang kena berdempetan dengan kawasan industri dan bandara macam-macam.
Para pengkritik menduga ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan Perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Berubahnya penggunaan lahan tertentu ditakutkan berdampak pada terjadinya bencana alam seperti erosi, banjir, atau tanah longsor.
“Padahal di lokasi banyak sangat rawan terhadap bencana. Seperti di Jawa barat itu di (Gunung) Rakutan Hulu Citarum, kalau ditanami sayuran ini akan berakibat pada tanah longsor, banjir, dan lain-lain. Intinya, Permen LHK ini syarat kepentingan politik dan bisnis dimiliki Pemerintah,” kata Andris kepada NusantaraNews di Jakarta, Jumat (22/9).
- Bertentangan Dengan PP No. 6 Tahun 2017, Mereka Gugat Permen Perhutanan Sosial
- Kritik Keras Atas Permen LHK P. 39 Tahun 2017
- Benarkah Permen LHK P. 39 Tahun 2017 Akan Picu Rakyat Babat Hutan Lindung?
- Komunitas Wong Alas Paksa Pemerintah Cabut Permen Perhutanan
Andris menjelaskan, tentu saja Permen ini tidak terbebas dari konsep bisnis. Namun, konsep bisnis dimaksud bukan bisnis pengusaha atau korporasi dunia usaha, melainkan konsep bisnis masyarakat. Tidak ada salahnya masyarakat berbisnis dengan memanfaatkan lahan hutan terlantar di wilayah kerja Perum Perhutani. Diperkirakan kini lebih separuh lahan hutan Perum Perhutani terlantar dan tidak terkelola sehingga sangat tepat diperuntukkan kepada masyarakat miskin dan petani gurem di sekitar lokasi lahan dimaksud agar bisa berusaha atau berbisnis untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka.
“Perhutanan sosial membutuhkan kawasan hutan yang jelas, dengan pemberian akses lebih besar kepada masyarakat. Bisnis menjadi salah satu unsur penting pengembangan perhutanan sosial. Intinya, salah satu unsur penting pengembangan perhutanan sosial adalah bagaimana bisnis masyarakat penerima izin pemanfaatan hutan negara itu berjalan baik. Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 menjamin bisnis masyarakat, bukan bisnis pengusaha sebagaimana diperkirakan para Pengkritik akan terjadi. Yakni pengusaha ikut mengelola kawasan kerja Perum Perhutani dan mengubah peruntukan lahan,” terang dia.
Dikatakan, pemegang izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) sekaligus merupakan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).Tidak ada pengusaha bisa ikut karena kehadiran negara dalam pengawasan cukup ketat, sebagai misal, lahan hutan yang diterima masyarakat tidak boleh dijual, boleh dipakai dan dimanfaatkan sampai 35 tahun. Prinsip dasar dalam regulasi al. tidak boleh dipindahtangankan dalam arti dijual. Kalau ayahnya wafat, bisa diturunkan kepada anaknya. Jika dipindahtangankan, maka lahan garapan dikembalikan kepada kelompok atau koperasi/koperasi mitra BUMDes.
“Sangat berlebih-lebih menilai, implementasi kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa ini, ada kepentingan politik dan bisnis Pemerintah.Tidak ada tuh kepentingan politik dan bisnis Pemerintah. Kalau kepentingan bisnis masyarakat miskin, penilaian ini tentu sangat tepat,” kata Andris. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)