KolomOpini

Bertentangan Dengan PP No. 6 Tahun 2017, Mereka Gugat Permen Perhutanan Sosial

NusantaraNews.co – Implementasi Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani mendapat gugatan dari sekelompok masyarakat pelaku usaha di bidang kehutanan. Mereka mengajukan gugatan uji materil atas Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 kepada Mahkamah Agung (MA). Mereka berjuang supaya Permen LHK No. P.39 tahun 2017 dibatalkan atau dicabut sehingga tidak dapat diimplementasikan. Mengapa mereka menggugat Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017 bertentangan PP No.6 tahun 2007?

Beragam jawaban dapat diidentifikasi, baik secara terbuka maupun tertutup.

Satu alasan legalistik mereka ajukan adalah Permen LHK ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, khususnya Pasal 48 berbunyi antara lain: Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang yelah mendapat pelimpahan untuk mengelenggarakan pengelolaan hutan. Inilah dasar argumentasi Pihak Penggugat untuk memohon kepada MA agar membatalkan atau mencabut Permen LHK tersebut.

Bagi mereka, Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 telah melanggar ketentuan PP No.6 Tahun 2007 karena Pemerintah mengeluarkan izin dalam wilayah kerja BUMN dalam hal ini Perum Perhutani yang telah mendapat pelimpangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Saya menolak klaim atau penilaian Para Penggugat ini berdasarkan pemikiran sebagai berikut.

Pertama, sebelumnya telah terbit Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, mengatur pola Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Namun, Permen LHK No. P.83 masih memerlukan penyempurnaan dari ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itu, penerbitan Permen LHK No. P39 Tahun 2017 merupakan upaya lanjut peyempurnaan Permen LHK No. P.83.

Kedua, Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial diterbitkan berdasarkan pertimbangan, antara lain untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan. Untuk itu, diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Berdasarkan Pemen LHK No. P.83, pemberian HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa), IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan) dan IUPHHK-HTR (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat) , semua Izin ini diberikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri LHK.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Ketiga, Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial adalah berdasarkan PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP No. 3 Tahun 2008. Karena itu, Permen LHK No.P.39 sebagai penyempurnaan Permen No.P.83 adalah masih kelanjutan dan tidak bertentangan dengan PP No. 6 Tahun 2007 sebagaimana dituduhkan oleh Penggugat. Pemberi Izin Pemanfaatan Hutan terhadap masyarakat adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri LHK. Tidak ada larangan bagi Pemerintah untuk memberi Izin karena lahan hutan yang diberikan izin dimaksud di dalam areal kerja Perum Perhutani.

Keempat, Permen LHK P.39 pada prinsipnya mengatur pemberian lahan negara yang sudah lebih 5 tahun atau 15 tahun terlantar atau tidak dikelola oleh Perum Perhutani.

Perum Perhutani tidak menyelenggarakan pengelolaan hutan sebagaimana diberi pelimpahaan oleh Pemerintah, sehingga terlantar lebih 5 atau 15 tahun. Hal ini berarti Perum Perhutani tidak melaksanakan kewajiban sesuai Pasal 115 PP No.6 Tahun 2007, berbunyi: Pemegang Izin Usaha Industri primer hasil hutan kayu dan bukan kayu, antara lain wajib menjalankan usaha sesuai dengan izin yang dimiliki dan melakukan kegiatan usaha insdustri sesuai dengan yang ditetapkan dalam izin. Dalam kenyataannya, Perum Perhutani telah melanggaran kerwajiban, yakni tidak menjalankan usaha dan menyelenggarakan kegiatan pengelolaan lahan hutan yang telah dilimpahkan oleh Pemerintah. Karena itu, Pemerintah mengambil kembali pelimpahan pengelolaan hutan tersebut dan kemudian memberikan IPHPS kepada masyarakat miskin di sekitar lahan tersebut. Tidak ada larangan bagi Pemerintah untuk mengambil kembali pelimpahan yang diberikan karena Perum Perhutani karena tidak menyelenggarakan pengelolaan lahan hutan tersebut.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Kelima, PP No. 6 Tahun 2007 sesungguhnya diperuntukkan pada lahan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani yang benar-benar dikelola, tidak ditelantarkan hingga lebih 5 atau 15 tahun. Untuk lahan hutan Perum Perhutani terlantar tidak berlaku ketentuan Pasal 48 PP No. 6 Tahun 2007, terutama larangan menerbitkan izin pemanfaatan hutan di area kerja BUMN bidang kehutanan pengelola hutan.

Atas lima butir pertimbangan di atas, adalah tidak tepat dan layak untuk diterima penilaian atau klaim bahwa Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 bertentangan dengan PP No. 6 Tahun 2007. Hakim MA harus menolak gugatan uji materil Permen LHK No.P.39. Permen LHK No. 39 Thn 2017 tidak betentangan dengan PP No.6 Tahun 2007 seperti dituduhkan para Penggugat di MA.

Penulis: Andris Yunus Assik (Peneliti Hukum NSEAS)

Related Posts

1 of 3