Budaya / SeniCerpen

Perempuan yang Membenci Kucing

Cerpen:  Kim Al Ghozali AM

Perempuan itu sejak mula memang sudah diajarkan oleh orang tuanya untuk membenci kucing. Itu ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan mereka. Sejak kanak-kanak dia seringkali menyaksikan ibunya memukuli kucing dengan sapu lidi, atau melihat ayahnya membanting dan menendang kucing yang bertandang. Kucing-kucing itu adalah milik para tetangga yang sedang meminta makan, yang nyelonong begitu saja ketika pintu atau jendela rumah sedang dibuka. Maka lama-kelamaan dia pun ikut membenci kucing. Merasa jijik dan ingin memukulinya juga ketika melihat ada kucing berkeliaran. Pada hari-hari kemudian, rasa jijik itu menjelma alergi bagi tubuhnya. Ketika dia melihat kucing—bahkan hanya gambarnya saja—bulu kuduknya menjadi merinding, kemudian gatal-gatal, gatal yang hebat. Sungguh menjadi sebuah siksaan bagi kehidupannya.

Bahkan pernah suatu saat (ini terjadi ketika dia indekos untuk melanjutkan studinya di kota yang jauh) pada malam hari dia mendengar ada kucing bertengkar di atap tepat atas kamarnya. Suaranya meraung-raung memekakkan telinga. Dia yang semula tidur menjadi terbangun dan mencoba mengusir kucing-kucing itu. Namun sia-sia, mereka tetap asik bertengkar. Malah semakin menjadi-jadi. Suaranya semakin menganggu. Lalu dia pun mencoba menahan diri, menutup telinganya dengan bantal, tapi suara-suara itu masih menembusnya. Dia berusaha menutup telinganya dengan headset dan dihidupilah lagu-lagu dari handphone-nya tapi masih juga suara-sura itu menembusnya. Ia menahan diri, namun lama-kelamaan badannya tiba-tiba menjadi panas dingin, keringat bercucuran dan nafasnya terengah-engah. Kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang. Dalam sekejap dia merasa dunia sedang membolak-balinya. Kemudian dia tak sadarkan diri hingga pagi tiba. Betapa rentannya, hanya ulah dua kucing yang sedang bertengkar!

Itulah salah satu kisah buruk mengenai perempuan itu dengan kucing. Tapi masih banyak lagi cerita-cerita buruk dan ganjil lainnya mengenainya. Seumur hidupnya seakan memang dibikin tidak tenang oleh hewan berkaki empat yang lucu itu. Dia pernah bercerita kepada kawan dekatnya atas pengalaman tubuhnya ketika melihat kucing. Dia menganggap dirinya mendapat tulah atas perbuatannya di masa lalu. Bahkan juga menanggung karma orang tuanya atas kebengisan mereka pada kucing. Pada waktu itu, ceritanya, ayahnya marah besar ketika hendak makan dan mengetahui ikan pindang—ikan kesukaannya—dicuri kucing jantan milik tetangga. Ia pun mengutuki kucing itu, jika kembali lagi maka kucing itu akan dipentung lalu akan dicincang badannya dan direbus dagingnya. Pada keesokan harinya semua itu menjadi kenyataan. Kucing itu bertandang kembali. Dengan cekatan ayahnya mengambil pentungan dan mengayunkannya tepat di kepala kucing yang agak gemuk itu. Seketika juga kucing itu menggelepar tanpa sempat meraung. Darah berceceran di lantai ruang makan. Maka cepat-cepat ayahnya mengangkat kucing itu keluar, ke kebun belakang. Kemudian di kubur di sela semak-semak. Tentu saja ayahnya tak merebusnya seperti yang diucapkan ketika marah kemarin. Dan dia menyaksikan semua, bahkan ikut mengubur kucing itu.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Pada malam harinya—setelah pembunuhan kucing—dia menjadi gelisah sendiri, sulit tidur dan selalu terbayang kepala yang pecah. Tentang darah yang berceceran. atau saat-saat menjelang kucing itu menemui ajalnya. Dia paksa pejamkan mata, dia paksa melupakan bayangan kucing yang memang layak mendapatkan ganjaran itu. Hingga pada akhirnya dia pun terpejam. Beberapa detik setelah terpejam, seorang tua dengan gigi-gigi bertaring, dengan rambutnya yang panjang-putih, dengan dahi berceceran darah, dengan kuku-kukunya yang tajam menyergapnya. “Mengapa kau bunuh aku?!” bentaknya, kemudian dia tiba-tiba terjaga. Gelisah, takut dan tak bisa tidur lagi sampai pagi datang.

Sejak malam itu dia  seringkali merasa takut tiba-tiba. Merasa setiap gerak-geriknya ketika malam hari selalu ada yang membuntuti. Dan itu terus berlanjut, terus sampai dia dewasa, sampai kuliah. Ketakutannya kadang menjelma sesuatu yang ganjil; bersikap dan berbuat aneh. Sehingga tak jarang mendapat ejekan dari teman-temannya, “dasar perempuan miring!” ketika dia berteriak histeris tiba-tiba saat perkuliahan sedang berlangsung. Sekali-dua kali dia pernah terapi jiwa, tapi hasilnya tetap saja, tidak berubah seperti semula. Hampir tak ada yang tahu mengenai ‘dalamannya’ perempuan ini. Satu-satunya hanya sahabatnya.

Atas saran dari seorang sahabat kuliahnya yang berasal dari selatan Lumajang, dia akhirnya pergi ke seorang dukun di kota temannya tersebut untuk dirukyah.

“Apakah mbak pernah menyakiti seorang lelaki?” sebuah pertanyaan muncul dari lelaki yang umurnya sekitar lima puluh tahun. Dia terdiam sejenak, ingatannya bergerilya ke waktu-waktu lewat.

“Tidak pernah.” Ucapnya sedikit ragu.

“Mbak tidak bisa membohongi saya. Lelaki itu pernah mencintai mbak.”

Dia tak menjawab. Dia melirik ke sahabatnya, seolah meminta bantuan untuk berbicara. Sekali lagi dia menjadi ragu-ragu.

“Mbak kena guna-guna. Saya membaca datangnya dari arah timur daya. Tapi tenang, nanti saya bentengi. Cuma ada syaratnya. Tidak memberatkan kok.” Ucapnya sambil menatap perempuan yang mulai khawatir itu.

“Apa syaratnya mbah?”

“Mbak cukup Memelihara kucing hitam selama satu tahun. Jenis kelaminnya bebas. Tujuannya untuk menangkal angin jahat yang datang mengancam.”

Dia tidak menjawab ya atau tidak. Tapi dalam hatinya tentu saja memberontak: tidak! Tidak! Tidak akan!

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Sekarang saya kasih mbak kemenyan. Ini dibawa pulang dan dibakar setiap jam enam sore selama satu minggu.”  Dia menerimanya, kemudian berdiri, pamit.

Sepanjang perjalanan pulang tentu saja kepalanya terus diliputi pertanyaan aneh dan penasaran. Tapi di waktu bersamaan dia juga membantahnya dengan yakin jika dirinya sama sekali tidak terkena guna-guna. Sejauh ingatannya dia tak pernah menyakiti hati seorang lelaki. Terakhir kali pacaran adalah ketika kelas tiga SMA, dan itu pun pacarnya yang menyakiti, yang mengajak putus. Dia yang sakit, bukan dia yang menyakiti. Lagian, perasaan-perasaan aneh dan kemudian—di hari-hari ini—menggoyang kestabilan jiwanya sudah tumbuh sejak dia kanak, setelah peristiwa pembunuhan kucing itu. Tentu saja dia tidak akan menuruti perintah dukun itu. Memelihara kucing hanya akan menambah permasalan hidupnya.

“Ini buatmu saja!” menyodorkan bungkusan kecil yang berisi kemenyan kepada sahabatnya itu.

“Lho?” tanyanya heran.

***

Ada yang aneh ketika bangun pada sebuah pagi di hari minggu. Dia yang tak biasa mematikan lampu saat tidur, kini membuka mata dan ruangannya gelap sama sekali. Ada sesuatu yang lain. Dia mencoba bangkit dari ranjangnya, menuju tembok di mana saklar lampu menempel. Dengan keadaan masih mengantuk dia berupaya berdiri. Meraba-raba tembok. Tapi saklar lampu tidak didapatkan, tak ada. Bingung dan linglung. “Apa aku bermimpi?” Bisiknya. Kemudian dia menuju jendela kamarnya untuk menyingkap kelambu biru itu. Betapa terhenyak ketika didapati di luar, bukan lagi halaman tempat dia tinggal. Tak ada pohon mangga yang berdiri kokoh di pojok halaman. Tak ada gedung seperti biasanya di seberang kali. Tak ada apa-apa, benar-benar tak ada apa-apa. Hanya pasir, hamparan pasir yang berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Bukan gurun, bukan pantai. Bukan. Entah. Tiba-tiba dia menjerit sekeras-kerasnya, sepanjang-panjangnya sampai badannya roboh dan tak sadarkan diri.

Kesiur angin yang hangat memainkan rambutnya yang bergelombang. Menyentuh pelipisnya dan mengibarkan bagian-bagian dari baju tidurnya yang dikenakan. Pelan-pelan dia mencoba membuka matanya dan disadari tubuhnya terkapar di tengah-tengah padang pasir yang sunyi. “Di mana aku di sini?” lirihnya. Tak butuh waktu yang lama, padang yang senyap hampa itu tiba-tiba riuh dengan suara-suara lengkingan kucing yang membuatnya kaget dan pekak telinganya. Tubuhnya menjadi gemetar. Belum sempat bertanya dari mana asalnya suara-suara itu lalu muncul segerombolan kucing hitam dari arah belakang, dari gundukan-gundukan pasir. Lalu dari depannya juga, kucing koleng-loreng seperti tentara sedang baris berbaris dan menujunya. Dari samping kanan dan kirinya. Dari sebalik batu-batu hitam, dari dalam pasir, dari cakrawala yang jauh. Dan dia tak henti berteriak histeris. Ingin lari tapi kakinya terasa sangat berat. Kucing, ribuan kucing, bahkan jutaan. Mendekat, mendekat dan sangat dekat dengan bunyinya yang membawa teror. Seperti ada yang mengkomando, kucing itu tiba-tiba berhenti, satu meter jarak dari tubuhnya. Mengelilinginya. Dari kerumunan kucing-kucing berwarna putih tiba-tiba muncul seorang lelaki tua persis dengan yang pernah dijumpai dalam mimpinya. Lelaki tua itu tersenyum menampakkan gigi-gigi taringnya. “Selamat datang di pulau kucing. Perkenalkan saya adalah raja kucing, penguasa sekaligus pelindung kucing-kucing di seluruh dunia.” Tiba-tiba wajahnya menyeramkan, sangat menyeramkan. Dan perempuan itu berteriak sekencang-kencangnya hingga lemas dan tak sadarkan diri lagi.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

***

Gelap, gelap dan hanya gelap. Sayup-sayup telinganya mendengar percakapan orang-orang. Awalnya suara itu seperti sangat jauh, kemudian mendekat, dekat dan sangat dekat. Semakin jelas setiap apa yang mereka bicarakan. Suara-suara itu tidak asing. Dia mengenalnya. Bahkan sangat mengenalnya.

“Sudah berapa lama dia begini, Mbak?”

“Sejak seminggu yang lalu, Dik.” Jawabnya halus.

“Mulanya bagaimana?

“Dia ditemukan teman-temannya sudah tak sadarkan diri di pinggir pantai saat kemah di dekat goa kucing di Gili Ketapang. Kasian dia, sebentar lagi harus mengikuti ujian di kampusnya.”

“Kadang kalau sore hari atau menjelang tengah malam dia berteriak tiba-tiba seperti orang ketakutan. Kadang juga terbangun dan membuka mata, tapi tatapannya kosong.” Jelas suara itu.

“Mungkin sebaiknya dibawa pulang saja mbak. Keadaan seperti ini kurang tepat jika ditangani oleh rumah sakit. Kita bawa ke dukun saja.” Ucapnya pelan.

Akhirnya dia mengerti percakapan dua suara itu adalah ibunya dengan bibinya, adik kandung ibunya. Kini dia sadar sedang berada di rumah sakit. Kemudian dia ingin sekali menangis di pangkuan ibunya, tapi matanya sulit dibuka dan badannya sulit digerakkan. Bibirnya membeku, tak bisa mengeluarkan suara.

***

 Kim Al Ghozali AM lahir di Probolinggo, 12 Desember 1991. Kini mukim di Denpasar dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP 109). Cerpen dan puisi-puisinya tersebar di berbagai media cetak, media online dan antologi bersama. Buku puisi tunggalnya: Api Kata (2017).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 20