OpiniTerbaru

Perbedaan Mencolok Antara People Power 212 dan Parade 412

Oleh: Denny JA

NUSANTARANEWS.CO – Belakangan ini kita disuguhkan dua gelaran hebat yakni people power (212) dan Parade 412. Keduanya karya anak bangsa, sama menyentuh, mewarnai keindonesiaan kita. Melihat detil kedua event itu, terasa ada tiga perbedaan nuansa.

Pertama, people power 212 memang lebih dramatik. Sebelum acara 212, kita sudah mendengar aneka hambatan kepada bus dan lain sebagainya agar tidak mengangkut warga daerah ke Jakarta.  Bahkan terdengar kabar 212 dilarang.

Tapi itu tak menyurutkan tekad. Ribuan umat ikhlas jalan kaki berkilo-kilo meter agar bisa ke Jakarta. Tak peduli ada ijin atau tidak. Ada pula yang kemudian saling membantu membeli tiket pesawat, dan pergi bersama mencarter satu pesawat.

Ada pengumuman dari masyarakat yang menyediakan tempat menginap gratis. Di pinggir jalan raya, banyak gadis dan ibu dengan dana sendiri menyediakan makan dan minum untuk peserta.

Kapolri akhirnya mencari jalan kompromi. Niat event 212 mustahil dinihilkan. Lokasi pindah dari jalan raya utama ke Monas.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Penyampaian Nota Ranperda APBD Tahun 2025

Di event 212, peserta bersama menyemut dalam doa. Itu kerumunan paling besar dalam sejarah. Ekspresi wajah mereka lebih menyala. Banyak yang menangis haru dalam doa. Hujan yang mengguyur Monas dan mereka yang bertahan di tempat, menambah pesona drama event itu.

Aneka drama di atas tidak terasa dalam parade Kita Indonesia.  Walau meriah dan juga ramai, parade 412 kurang pekat emosi, dan lebih hambar, walau pesan utamanya sangat penting tentang keberagaman Indonesia.

Ibarat film, event 212 jauh lebih menggugah emosi, dramatik, dan lebih greget dibandingkan aksi 412.

Kedua, dalam parade 412 banyak bendera partai politik, yang justru tak satupun dijumpai di aksi 212. Terasa gerakan Parade 412 lebih dimobilisasi. Gerakan ini nampak rapih dan tertata. Banyak bus masuk Jakarta. Namun partisipasi dari bawah, spontanitas peserta kurang terasa dalam 412.

Parade 412 lebih terasa top-down. Sementara people power 212 lebih terasa bottom-up. Dimana aksi 412 lebih terasa mobilisasi dari atas, sedangkan aksi 212 lebih terasa partisipasi dari bawah.

Baca Juga:  Jadi Bulanan Serangan Hoaks, Pemuda Pancasila Dukung Gus Fawait Djos di Pilkada Jember

Ketiga, tokoh politik yang terlibat dalam gerakan juga berbeda. Event 212 tak terduga, dimana mampu melibatkan presiden Indonesia Jokowi hadir. Di panggung bahkan presiden berpidato didampingi wapres dan para menteri.

Sementara itu, event 412 menyajikan para ketua umum partai, seperti Surya Paloh yang didampingi Setya Novanto, Jan Faridz, dan lain-lain.

Kehadiran Presiden dan Wapres dalam aksi 212 membuat bobot politik people power itu lebih kuat bergaung dibandingkan 412. Jika ditarik pada pilkada DKI, event 212 lebih diwarnai sentimen anti Ahok. Sementara 412, entah kebetulan atau tidak, dipelopori oleh partai pendukung Ahok minus PDIP.

Menjadi pertanyaan pula, mengapa PDIP tidak aktif terlibat dalam 412? Bukankah secara ideologi, PDIP senyawa dengan pesan utama parade? PDIP juga sama pendukung pemerintah dan Ahok?

Namun, kedua gerakan itu (212 dan 412) saling memperkaya kita. Pesannya sama penting untuk pertumbuhan kita sebagai bangsa. Dalam 212, isu utama “meminta keadilan” terhadap Ahok yang dianggap mengganggu dignity agama. Hal itu berakibat terganggunya ruang publik keberagaman yang saling menghormati.

Baca Juga:  Banjir Doa dan Dukungan di Pasar Blimbing, Khofifah Ajak Pedagang Coblos Nomor 2 di Pilgub Jatim

Dalam 412 dikokohkan Indonesia untuk semua, apapun agama dan sukunya. Musuh bersama adalah kebodohan dan kemiskinan, bukan sesama anak bangsa yang berbeda identitas.

Selesai Pilkada DKI, kita harap Jakarta dan Indonesia merekat kembali. Ketegangan hari ini, jika ada, semoga justru menjadi simulasi mencari pola kebersamaan yang lebih saling respek.

Kitapun harus belajar menjadi pemimpin yang tak cukup hanya piawai membuat kali menjadi bersih, dan mantap dalam menata kota. Namun pemimpin harus juga piawai menata emosi manusia di dalamnya. Warga itu punya hati dan keyakinan yang perlu dihormati.

Denny JA, Pimpinan Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Related Posts

1 of 448