Mancanegara

Perang Yaman: Awal Mula Konflik dan Kebangkitan Houthi

Perang Yaman: Awal mula konflik dan kebangkitan Houthi.
Perang Yaman: Awal mula konflik dan kebangkitan Houthi/Foto: Para pejuang Houthi/Arab News

NUSANTARANEWS.CO. Sana’a – Perang Yaman: Awal mula konflik dan kebangkitan Houthi. Jutaan orang Yaman di 14 provinsi melakukan aksi unjuk rasa mengecam penunjukan Amerika Serikat (AS) atas kelompok Ansarullah Houthi sebagai “organisasi teroris”. Para pengunjuk rasa melampiaskan kemarahan mereka kepada AS dan Saudi Arabia dengan slogan “Pengepungan Saudi dan agresi AS adalah kejahatan teroris.”

Para pemimpin unjuk rasa juga mengimbau rakyat Yaman untuk menghadiri rapat umum dan menunjukkan bahwa rakyat Yaman tidak akan dihancurkan dan akan tetap teguh menghadapi musuh, apapun tantangannya.

Para aktivis di luar Yaman, juga menggelar demonstrasi global di sembilan ibukota dunia, termasuk Washington, London, dan Paris untuk menyerukan diakhirinya agresi AS-Saudi terhadap negeri yang kaya sumber daya alam ini.

Belakangan ini, memang perlawan Houthi semakin mencuat dalam percaturan politik internasional terkait Perang Yaman. Seperti halnya Hizbullah yang mampu mengalahkan Israel dalam Perang Lebanon 2006, Houthi pun berhasil “memukul balik” Arab Saudi pada tahun 2020. Ketika Hizbullah berhasil mengalahkan teroris ISIS di Suriah dan Irak, Houthi membuat teroris Al Qaeda tak berdaya di Yaman. Al Qaeda dan ISIS adalah ciptaan AS dalam menjalankan perang proxynya.

Selama lebih dari satu dekade, Republik Yaman telah terkoyak oleh berbagai konflik bersenjata di mana beberapa kelompok proxy dan negara asing terlibat. Sehingga konflik internal tersebut telah memecah-belah negara dan mengancam integritas teritorial Yaman. Runtuhnya institusi Yaman selama masa perang semakin memperburuk kondisi kehidupan politik di Yaman. Ditambah lagi dengan gerakan separatis di selatan.

Baca Juga:  Mesin Propaganda Arus Utama Barat Marah Karena Mitos 'Isolasi Putin' Runtuh

Pada tahun 2014, gerakan Houthi yang berbasis di Yaman utara berhasil mengambil alih ibu kota Sanaa dengan bantuan dari unit tentara pro-Saleh, mantan presiden yang digulingkan Houthi. Di ibukota, Houthi meminta Presiden Hadi untuk berbagi kekuasaan. Namun pemerintahan Presiden Hadi yang lemah dan korup menolak bahkan hendak membentuk negara federal Yaman yang ditolak Houthi dan kelompok separatis selatan.

Pada pada awal 2015, Houthi berhasil merebut Aden, dan Presiden Yaman Abdu Rabbu Mansour Hadi yang menjadi Presiden karena dukungan Houthi pun melarikan diri ke Arab Saudi.

Sekedar catatan, Kelompok Houthi berperan besar dalam menggulingkan presiden Ali Abdullah Saleh pada 2011 dan menaikkan Mansour Hadi yang merupakan wakil presiden saat itu menjadi presiden baru Yaman. Tidak mengherankan bila Houthi kemudian menuntut keadilan Presiden Hadi agar lebih proporsional dalam pembagian kekuasaan dengan mengakomodir perwakilan kelompok etnis, religious, dan komunitas dalam pemerintahannya.

Presiden Hadi dalam pelariannya kemudian meminta bantuan Arab Saudi dan sekutu Arabnya untuk melakukan serangan militer guna memulihkan pemerintahannya. Atas permintaan Hadi itu, Arab Saudi kemudian membentuk koalisi negara-negara Arab yang mayoritas sunni seperti: Bahrain, Mesir, Yordania, Kuwait, Maroko, Qatar, Sudan, dan Uni Emirat Arab (UEA). Pada 2018, koalisi telah berkembang dengan memasukkan tentara dari Eritrea dan Pakistan.

Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi kemudian melancarkan serangan udara melawan Houthi dengan dalih untuk mengembalikan pemerintahan Hadi. Riyadh tidak bisa menerima Yaman di bawah kendali Houthi yang berarti kemunduran dalam persaingan lama dengan Teheran.

Baca Juga:  Pembantaian Warga Palestina di Gaza: Kekejaman yang Mencoreng Kemanusiaan

Namun, UEA mengalami konflik dengan sekutunya pada Agustus 2019, ketika mendukung separatis Pemerintah Transisi Selatan (STC), yang merebut Aden. Pada 2020, STC yang sempat menandatangani “Perjanjian Riyadh” untuk berbagi kekuasaan pasca perang, kemudian mengingkari kesepakatan itu dan menyatakan pemerintahan sendiri di selatan

AS, Inggris, Jerman, dan Prancis mendukung koalisi yang dipimpin Saudi. AS memiliki kepentingan geopolitik dan geoekonomi yang besar di kawasan regional, termasuk stabilitas di Yaman demi keamanan perbatasan dan jalur minyak enam juta barel per hari di selat Bab al-Mandeb yang menghubungkan Laut Arab dan Laut Merah.

Gayung pun bersambut. Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi kemudian melancarkan serangan militer ke Yaman sehingga konflik Yaman berubah menjadi perang skala besar yang menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan jutaan rakyat Yaman menderita. Infrastruktur Yaman pun luluh lantak di bombardir tanpa pandang bulu oleh jet-jet tempur pasukan koalisi yang merupakan buatan AS dan barat, termasuk dengan amunisinya. AS adalah pemasok senjata terbesar Arab Saudi. Bahkan Presiden Donald Trump telah tiga kali memveto upaya penghentian penjualan senjata “darurat” ke Arab Saudi oleh Kongres.

Satu organisasi yang didanai AS dan Eropa, proyek ACLED (the Armed Conflict Location & Event Data) melaporkan bahwa pada November 2020 lebih dari 130.000 warga Yaman telah terbunuh sejak 2015. Tidak mengherankan bila di AS dan beberapa negara Eropa di dalam negerinya telah terjadi perlawanan keras terhadap serangan udara koalisi pimpinan Arab Saudi itu.

Keberhasilan kelompok Houthi menguasai Yaman dalam waktu singkat, tidaklah mengherankan bila kita mengenal tradisi dan kearifan lokal masyarakatnya yang merupakan pengikut mazhab Syi’ah yang sudah berakar sejak ribuan tahun. Gerakan Houthi sendiri, sejak awal berdirinya tahun 1990-an oleh Hussein Badr-al Din al Houthi, visi gerakannya lebih kepada bidang pendidikan dan kebudayaan bagi generasi muda Yaman.

Baca Juga:  BREAKING NEWS: Atas Perintah Raja Maroko, Putra Mahkota Moulay El Hassan Sambut Presiden Tiongkok di Casablanca

Gerakan pendidikan dan kebudayaan itu kemudian berubah menjadi gerakan bersenjata, setelah pendirinya Hussein al Houthi terbunuh oleh serdadu yang dikirimkan presiden Ali Abdullah Saleh pada tahun 2004. Ketika itu kaum Houthi sedang mendukung aksi protes terhadap presiden Saleh di sebuah mesjid di Sanaa.

Para analis menyebutkan bahwa kaum Houthi sebetulnya ingin agar Presiden Abedrabbo Mansour Hadi membagi kekuasaan secara proporsional dalam pemerintahan nasional. Serta memberikan otonomi yang lebih luas bagi kawasan Saad di utara Yaman. Tapi sikap ngotot presiden Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi malah memicu terjadinya konflik bersenjata di Yaman hingga hari ini.

Perdamaian antara pemerintahan Presiden Hadi dan Houthi tampaknya sulit terjadi, apalagi dengan keterlibatan kuat aktor-aktor eksternal yang saling bermusuhan pada level regional bahkan global – sehingga menggeser konflik internal menjadi konflik regional yang semakin rumit untuk diselesaikan.

Faksi politik tidak mungkin berkompromi dalam distribusi kekuasaan, dan milisi akan enggan menyerahkan senjata mereka. Solusi yang langgeng akan membutuhkan penenangan tiga faksi utama: Houthi, pemerintahan Hadi, dan STC, yang masing-masing memiliki ideologi dan kepentingan yang berbeda. Sementara pemerintahan baru mana pun, akan membutuhkan bantuan asing untuk memerangi kelompok teroris, membangun kembali infrastruktur negara yang hancur, dan menangani kebutuhan kemanusiaan yang meningkat di tengah pandemi virus corona. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,051