NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengaku tersingggung lantaran penerimaan Praja IPDN dari Papua 90 persen bukan putra daerah.
“Penerimaan Praja IPDN dari Papua 90% bukan putra daerah. Saya tersinggung dan mengecam keras pemerintahan Jokowi, saudara Mendagri, Tjajo Kumolo, kader PDIP,” kata Pigai melalui keterangan tertulis, Jakarta, Senin (3/9/2018).
Pigai menuturkan, sejak bangsa ini didirikan, kita berkomitmen membangun bersama secara tanggung-renteng. Membangun mosaik Indonesia bukan adagium yang bersifat simbolik tetapi bisa diwujudkan sebagai kawah candradimuka bhineka secara substansial.
“Salah satu kekuatan perekat NKRI adalah distribusi kekuasaan yang merata diseluruh negeri, semua anak bangsa terwadahi dalam mesin perubahan atau subjek pengelolaan negara supaya mereka merasa memiliki negeri ini,” ucap Pigai.
IPDN didirikan untuk memperkuat ketataprajaan birokrasi pemerintanan daerah sebagai wujud nyata otonomi berbasis lokal sesuai amanat pasal 18, UUD 1945 yaitu Indonesia yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah.
Jika dilihat dari hasil penerimaan akhir IPDN, representasi wilayah Papua 90 persen bukan putra daerah. “Artinya anda berdua (Jokowi dan Tjahjo Kumolo, Presiden dan Mendagri -red) telah melecehkan bangsa pribumi Papua. Saya sayangkan kalian bisa lakukan diskriminasi akut tanpa mempertimbangkan kebijakan afirmasi bagi putra-putri daerah untuk belajar mengenyam pendidikan tata praja di sekolah terhormat di Kementerian Dalam Negeri yang kalian pimpin saat ini. Akibatnya jangan kalian kecewa kalau suatu saat mereka ini tidak dipakai sebagai kekuatan birokrasi di daerah,” beber Pigai.
“Sekali lagi sebagai mantan pimpinan Komnas HAM saya ingatkan amanat konstitusi HAM bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi dan segregasi atas dasar pertimbangan etnis, ras, golongan dan antar agama. Saya sangat tersinggung dengan pemerintahan yang diskriminatif yang membiarkan rasialisme berkembang di negeri Pancasila,” tambah dia.
“Saya minta Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak boleh memberi dukungan biaya pendidikan dengan membebani APBD yang dikumpulkan dengan keringat rakyat Papua sebagai konsekuensi atas keputusan Kementerian Dalam Negeri yang diskriminatif terhadap rakyat Papua asli,” papar aktivis kemanusiaan ini. (eda/enna)
Editor: M Yahya Suprabana