Kolom

Pemilu 2019, Kritik dan Perbaikan

(Ilustrasi/Istimewa)
Pemilu. (Ilustrasi/Istimewa)

Pemilu 2019, Kritik dan Perbaikan

Pelaksanaan pemilu telah usai, tinggal menunggu hasil real penghitungan dari KPU, namun euforia soal pemilu masih sangat terasa di masyarakat. Mulai dari petani, pedagang, kuli bangunan sampai dengan birokrat kelas tinggi hampir semua tidak terlepas dari percakapan-percakapan soal pemilu yang beru saja terlaksana.

Ada hal yang menarik selain perdebatan yang soal visi misi masing-masing pasangan calon. Pemilu kali sungguh menjadi perhatian negara-negara luar, diklaim sebagai pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah yang terlaksana dengan damai, lancar dan aman. Tentu hal tersebut menjadi nilai plus tersendiri bagi Indonesia dimata dunia internasional.

Juga kemudian antusiasme masyarakat yang begitu tinggi untuk mengikuti pelaksanaan pemilu kali ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi di agenda lima tahunan tersebut kian meningkat. Partisipasi yang tinggi dari masyarakat inilah menjadi salah satu sebab pemilu yang dilaksanakan tersebut dapat berjalan dengan damai, lancar dan aman.
Tentu ketertiban tersebut terjadi juga atas peran serta petugas keamanan yang cukup sigap dalam mengawal pemilu kali ini. Maka tak salah jika apresiasi setinggi-tingginya kita berikan kepada segenap lapisan masyarakat dan petugas keamanan yang telah turut menjaga kondusifitas pemilu kali ini.

Termasuk apresiasi yang besar kita berikan kepada petugas pelaksana pemilu dan pengawas disetiap jajarannya yang tanpa lelah menjalankan tugas negara dengan gigih dan luar biasa. Bisa kita bayangkan begitu melelahkannya tugas dan tanggung jawab mereka yang berminggu-minggu, berbulan-bulan bekerja mempersiapkan segala perangkat pemilu sampai terselenggaranya pemilu tersebut.

Sampai dibeberapa titik diantara mereka ada yang meregang nyawa dalam bertugas karena memang begitu menguras energi pemilu kali ini. Sungguh tidak etis jika kemudian kita seolah menyudutkan mereka dengan berbagai macam tuduhan seperti mereka tidak bertanggung jawab, mereka ceroboh, lebih-lebih membangun narasi bahwa mereka curang dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Terlepas daripada itu, tentu pelaksanaan pemilu tahun ini pada khususnya dan pada umumnya pemilihan-pemilihan di Indonesia masih banyak hal yang menjadi bahan kritik dan evaluasi kita bersama. Evaluasi dan kritik yang kita berikan semata hanya dalam rangka pelaksanaan pemilu yang lebih baik untuk masa yang akan mendatang dan bukan untuk menjatuhkan siapapun atau pihak manapun. Sebelum itu perlu diketahui dalam hal ini posisi penulis dalam posisi sebagai masyarakat biasa dan tanpa tendensi kepada siapapun.

Secara prinsipil hanya ada dua hal penting sorotan mengenai pemilu tahun ini yang kami coba sampaikan dalam tulisan singkat ini. Yang pertama adalah masih banyaknya model politik transaksional kita jumpai di tengah masyarakat yang dilakukan oleh para calon peserta pemilu. Yang kedua mengenai teknis pelaksanaan pemilu itu sendiri mulai dari durasi waktu yang cukup panjang hingga berlarut-larut hingga properti pemilu yang rawan untuk dimanipulasi data perolehan suara antar calon oleh pihak-pihak yang ingin menang.

Soal politik uang atau politik transaksional, kita semua tahu bahwa politik transaksional ini memang menjadi persoalan akut yang tengah terjadi di masyarakat sajak lama yang hingga saat ini masih belum dapat teratasi dan masih menjadi bahan perdebatan. Bahwa fakta di lapangan menyatakan politik transaksional ini masih sangat menjamur di masyarakat.

Para kontestan juga tak segan-segan merogoh kocek hingga ratusan juta bahkan miliyaran rupiah untuk memperoleh suara yang diinginkan. Beberapa masyarakat pernah bercerita kepada kami bahwa mereka pernah mendapatkan uang kisaran Rp. 30.000 hingga Rp. 150.000 dari calon legislatif yang maju dalam kontestasi pemilu tahun ini.

Termasuk juga ditemukan beberapa calon yang menjanjikan untuk membelikan ini itu seperti terop, lampu dan lain sebagainya untuk masyarakat jika mereka berkenan memilihnya dalam pemilu. Biasanya hal ini terjadi di dalam sebuah komunitas atau kelompok masyarakat seperti kelompok tani, jamaah ibu-ibu yasinan dan lain-lain.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Karena memang rasa solidaritas dan soliditas masyarakat kita begitu tinggi maka jika ada salah satu dari anggota komunitas yang tidak mengikuti kelompoknya ia khawatir menjadi bahan gunjingan dan diasingkan dari komunitasnya tersebut.

Tentu hal ini cukup memprihatinkan kita semuanya mengingat bahwa politik uang menjadi hal yang bertentangan dengan undang-undang namun di tengah masyarakat masih kita jumpai fakta adanya politik uang atau politik transaksional tersebut. Memang dalam undang-undang menyatakan bahwa pemberian uang kepada masyarakat dilegalkan.

Akan tetapi untuk nominal yang diberikan hanya dibatasi sebesar Rp. 25. 000 saja. Pemberian uang tersebut diperuntukkan sebagai ongkos untuk para pemilih. Jika kemudian fakta dilapangan masih banyak ditemukan pemberian uang melebihi nominal tersebut ini artinya telah bertentangan secara konstitusional.

Dalam hal ini peran pengawas beserta pemantau harus semakin jeli melihat persoalan di masyarakat untuk memotong mata rantai politik transaksional tersebut. Tidak ketinggalan peran penting juga membebani partai-partai politik untuk bisa melakukan kaderisasi yang masif dan terukur kepada para anggota dan kadernya agar mereka tidak kemudian menjadi pelaku politik transaksional.

Selebihnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan berani melaporkan kepada pihak yang berwenang juga sangat penting dilakukan. Dus, dengan ini politik transaksioanl dapat segera diminimalisir.

Berikutnya soal teknis pelaksanaan pemilu. Yang pertama soal durasi waktu yang cukup panjang dan pembatasan waktu yang tak berperikemanusiaan. Betapa tidak, mulai dari tahaap pencoblosan hingga muncul hasilnya berupa C1 katakanlah hanya di batasi dalam jangka waktu tak lebih dari 20 jam.

Padahal dalam pemilu kali ini ada banyak surat suara yang digunakan mulai dari pencoblosan hingga penghitungan belum lagi ditambah salinan-salinan lainnya dengan jumlah yang tidak sedikit pula. hal itu tentu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan singkat.

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Akibatnya banyak petugas yang harus menforsir tenaganya untuk tugas berat ini. Di beberapa daerah bahkan ada yang meninggal akibat kelelahan dalam bertugas. Mungkin ke depan harus ada kebijakan untuk tugas seperti ini bisa dilakukan dengan cara sift untuk meringankan tugas pelaksana pemilu.

Berikutnya soal properti yang digunakan masih berupa kertas dangan metode pencoblosan. Problem kertas dan metode pencoblosan biasanya lebih mudah untuk dimanipulasi oleh mereka yang punya kepentingan, mafia-mafia suara untuk mendapatkan keuntungan hak suara.

Mereka para mafia suara bisa saja berkonspirasi dengan pihak-pihak pelaksana yang memang bisa saja berkaki dua untuk memenangkan calon. Kami kira sudah banyak kasus surat suara tercoblos sebelum pelaksanaan atau data hasil penghitungan yang acapkali berbeda dengan sebelumnya.

Walhasil properti kertas dengan metode pencoblosan sangat rawan untuk dicurangi. Selain itu sifat kertas yang mudah rusak juga menjadi persoalan tersendiri.

Kami kira ke depan bisa dikembangkang teknis penyelenggaraan pemilu ini menggunakan E-Surat suara atau surat suara elektronik. Tidak perlu mencoblos bisa tinggal menyentuh layar maka data kita bisa langsung masuk server pusat. Ini artinya akan lebih memberikan efisiensi waktu dan memperkecil gerak kecurangan oleh mafia-mafia suara.

Memang hal ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi bukan tidak mungkin ini bisa dilakukan. Mengingat persoalan kecurangan juga semakin beragam dan tekhnologi yang semakin canggih tentu hal tersebut tidaklah sulit.

Kami berharap kedepan perbaikan-perbaikan bisa dilakukan dalam pelaksanaan agenda lima tahunan sperti ini. Yang itu bukan hanya sebatas retorika semata tetapi benar-benar dilakukan.

Tentu kita semua sebagai warga negara mengharapkan pelaksanaan pesta demokrasi bisa terlaksana dengan jujur dan adil sehingga berimplikasi pada sehatnya proses demokrasi di Indonesia.

Penulis: Erwan Dwi Wahyunanto, Ketua Umum PMII Ponorogo

Related Posts

1 of 3,060