PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo tengah diuji atas komitmen dan konsistensinya dalam menjalankan Trisakti dan Nawacita, diantaranya adalah soal pengelolaan kebijakan energi nasional. Terutama menyangkut soal harga BBM. Secara umum, kebijakan energi yang populer meliputi pembangunan ketenagalistrikan nasional 35.000 MW, Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga serta janji tidak akan menaikkan harga listrik, BBM subsidi (minyak tanah dan solar) dan khusus (premium) secara khusus dalam masa 5 (lima) tahun kepemimpinannya. Untuk kebijakan energi ini, maka 2 (dua) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam pasal 66 Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yaitu PT. (Persero) PLN dan PT. (Persero) Pertamina diberikan penugasan oleh pemerintah untuk melaksanakannya. Namun, keberhasilan penugasan yang akan dijalankan oleh PLN dan Pertamina tersebut, terutama soal harga listrik dan BBM subsidi sangat tergantung pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dijabat oleh Ignasius Jonan.
Kebijakan Menteri ESDM
Ada hal yang menjadi pertanyaan besar publik dan sepertinya baru pertama kali terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, yaitu sebuah kebijakan yang telah ditetapkan, kurang dari waktu 1 (satu) jam kemudian dibatalkan. Kebijakan itu adalah mengenai kenaikan harga BBM subsidi dan khusus (solar dan premium) yang disampaikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan pada hari rabu tanggal 10 Oktober 2018 jam 16.30 Wib dan secara resmi akan berlaku pada jam 20.00 Wib, tetapi keputusan ini dibatalkan pada jam 17.15 Wib.
Sebelum pembatalan kenaikan harga premium sebagai BBM khusus penugasan (bukan subsidi) ini, Pertamina telah menaikkan harga BBM non subsidi jenis Pertalite, Pertamax, Dex dan Turbo tanpa terjadi polemik. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, bahwa kenaikan harga premium tersebut sesuai arahan Presiden dan pembatalannya juga terjadi karena Presiden menunggu kesiapan Pertamina.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana sebenarnya Presiden melakukan proses pengambilan keputusan atas kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dan khusus sesuai Perpres 191 Tahun 2014 ini? Apakah Presiden tidak menerima laporan dari para Menteri dan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri BUMN dan Direktur Utama Pertamina sebelum Menteri ESDM mengumumkan kenaikan harga BBM tersebut?
Jika mengacu pada keterangan yang disampaikan oleh Kementerian BUMN melalui Deputy Bidang Pertambangan, Energi dan Industri Strategis, Fajar Hary Sampoerno bahwa Pertamina tidak siap atas kebijakan ini. Sementara itu, Pertamina melalui siaran pers nya menyampaikan, bahwa selain tidak siap, mereka juga tidak tahu menahu atas rencana kenaikan premium tersebut.
Dari berbagai penyataan yang disampaikan oleh pejabat terkait, maka dapat disimpulkan bahwa pembatalan kenaikan harga BBM ini, khususnya premium bisa terjadi karena 2 (dua) faktor, yaitu faktor koordinasi kebijakan antar pejabat berwenang dan ketidakprofesionalan manajemen Pertamina. Masalah tidak adanya koordinasi antar pejabat berwenang ini mungkin terjadi karena masing-masing pihak (Menteri ESDM dan BUMN) memahami betul kebijakan politik Presiden atas BBM satu harga serta janjinya tak menaikkan harga BBM subsidi.
Pada akhirnya, para Menteri ini mengambil jalan yang berbeda, yaitu Menteri ESDM tetap mengumumkan kenaikan harga BBM premium, walaupun kemudian membatalkannya di satu sisi. Di sisi yang lain, Menteri BUMN berdalih dengan menyampaikan (terkesan melempar tanggungjawab) bahwa Pertamina lah yang tidak siap atas kebijakan kenaikan harga BBM Premium tersebut. Apakah benar Pertamina tidak siap menerima kenaikan harga BBM ini, sepertinya tak ada perusahaan yang tak ingin menaikkan harga produknya untuk memperbesar margin keuntungan, apalagi dalam posisi harga keekonomian minyak mentah dunia semakin mahal dan kurs dollar atas rupiah yang apresiatif.
Buruknya koordinasi pengambilan kebijakan kenaikan harga BBM ini mengakibatkan munculnya berbagai spekulasi ditengah publik, terutama masyarakat konsumen yang membutuhkan kepastian. Sebagai contoh reaksi masyarakat konsumen atas pengumuman yang disampaikan Menteri ESDM itu, adalah terjadinya antrian para konsumen di SPBU Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat untuk membeli premium sebelum harga baru (Rp 6.900 di luar Pulau Jawa, Madura dan Bali/Jamali, dan Ro. 7.000 di wilayah Jamali). Ketidakjelasan siapa yang bertanggungjawab mengusulkan dan membatalkan kenaikan harga BBM menjadi pertanda buruknya pengelolaan kebijakan energi nasional.
Pertamina dan Presiden
Kementerian BUMN tentu saja harus melindungi jajarannya dari limpahan kesalahan atas buruknya koordinasi soal kebijakan kenaikan harga BBM premium ini. Sebab, selain Pertamina hanya sebagai operator bagi penugasan BBM subsidi dan khusus yang diberikan oleh pemerintah, besar kemungkinan yang lain adalah bahwa Pertamina merasa cukup untuk menaikkan harga BBM non subsidi saja. Walaupun Pertamina mempunyai tantangan (mungkin juga beban) meningkatkan produksi, efesiensi dan efektifitas kinerja perusahaan dalam mengelola Blok-Blok Migas yang akan berakhir KKS-nya, khususnya Blok Mahakam dan Rokan yang telah diserahkan.
Barangkali Pertamina telah menghitung secara teliti, bahwa dengan hanya menaikkan harga BBM non subsidi akan mampu memberikan dukungan penuh pembangunan sektor hulu atas kekurangan produksi Migas dalam negeri selama ini yang sebesar 800 ribu barrel per hari dan selama ini diimpor dari perusahaan lain di luar negeri. Dengan dalih ketidaktahuan Pertamina atas kenaikan BBM premium yang merupakan penugasan ini, maka Pertamina sudah memposisikan diri sebagai pendukung kebijakan Presiden di satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain Pertamina telah bersikap tidak profesional dan proporsional atas ketidaksiapan ini karena mengabaikan dampak kenaikan harga keekonomian minyak dunia yang sudah mencapai $86 per barrel (harga Brent) yang akan menyulitkan keuangan perusahaan.
Jika kesulitan keuangan Pertamina terjadi akibat tidak naiknya BBM premium ini, dan tak berhasilnya sasaran (target) pertamina untuk menutupi beban kenaikan harga keekonomian minyak dunia dan menguatnya kurs dollar melalui kenaikan harga BBM non subsidi ini, maka Pertamina akan dipersalahkan oleh Presiden. Kesalahan Pertamina membuat perhitungan ini tentu akan membuat posisi politik Presiden menjadi dilematis di tahun politik dan menghadapi kontestasi Pemilihan Presiden Tahun 2019. Dan, tidak mungkin Presiden mengambil keputusan tidak populer dengan menaikkan harga BBM subsidi dan penugasan dalam momentum yang tidak tepat karena jelas akan menggerus dukungan publik di Pilpres nanti.
Plihannya sama-sama tidak menguntungkan posisi masing-masing dalam kenaikan harga BBM subsidi dan khusus ini, baik Pertamina apalagi Presiden. Namun, kelangsungan hidup Pertamina sebagai BUMN bukan hanya 5 tahun dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, dan ini lebih penting untuk diperhatikan seluruh pemangku kepentingan (stakehokders) bangsa.
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi