NUSANTARANEWS.CO, Nunukan – Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berangkat maupun pulang kampung secara ilegal yang melewati jalur Nunukan pada tahun 2022 mengalami peningkatan.
Balai Perlindungan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nunukan, Kalimantan Utara mengungkapkan jika pada Tahun 2021 tercatat sebanyak 215 PMI, maka Tahun 2022, ada 746 PMI Malaysia, yang diamankan dalam razia di jalur perbatasan RI.
BP2MI Nunukan juga mencatat kenaikan jumlah PMI yang dideportasi. Tahun 2021, tercatat 1.267 PMI dideportasi. Sementara di tahun 2022, ada 1.771 PMI.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.364 PMI dipulangkan ke kampung halaman pada 2021. Lalu tahun 2022, ada 1.386 pemulangan yang dilakukan BP2MI Nunukan.
Sub-Koordinator Perlindungan dan Penempatan UPT BP2MI Nunukan, Arbain mengatakan, cara berangkat dan pulang para PMI yang lebih memilih jalur ilegal karena dipengaruhi calo.
“Tradisi berangkat ke Malaysia atau pulang kampung lewat jalur ilegal dengan jasa calo, sulit dihilangkan. Apalagi dominasi calo di wilayah Malaysia masih demikian kuatnya. Alasan ini, menjadi alasan kuat kedua setelah meredanya isucovid-19,” ujarnya, Rabu (11/1).
Arbain mengatakan, para calo dengan koneksi dan pekerjaan yang digelutinya selama puluhan tahun, memiliki cara tersendiri untuk menggaet calon PMI.
Menurutnya para calo akan datang ke mes- mes perusahaan di sejumlah kilang/perusahaan di Malaysia, untuk menawarkan jasa pengangkutan bagi PMI yang berniat pulang kampung.
Biasanya, para PMI, rela membayar biaya calo antara 1500 sampai 2000 Ringgit Malaysia, untuk sampai kampung halaman.
“Para PMI ini tahu biaya tersebut jauh lebih mahal ketimbang melalui jalur resmi. Tapi semua pengurusan sudah dijamin para calo, dan PMI hanya tahu beres sampai kampung halamannya,” jelas Arbain.
Para PMI yang rata rata kurang berpengalaman dalam urusan perjalanan luar negeri, tidak mau bersusah payah, atau repot mengantre untuk mengurus administrasi. Mereka terkesan menghindari bertemu petugas pabean atau Imigrasi Malaysia.
Selain itu, pengalaman antre di Pelabuhan selama berjam-jam juga menjadi alasan para PMI lebih memilih pulang dengan ilegal.
“Kalau menyeberang lewat pelabuhan Tawau, Malaysia ke Nunukan, Kaltara, paling bayarnya hanya Rp 300.000-an. Tapi barang bawaan ditimbang dan kembali bayar ke kerajaan Malaysia. Itu untuk tiket harus antre, barang didaftar. Menunggu pengurusan itu lumayan lama. Kalau pake calo, mereka dijemput di kilangnya dan diantar sampai depan pintu rumahnya,” imbuhnya.
Alasan tersebut, belum termasuk, nihilnya kepemilikan dokumen keimigrasian anak atau istri mereka. Banyak PMI yang memilih lewat jalur illegal karena tidak tega membiarkan anak dan istrinya berangkat secara terpisah.
“Kan tidak mungkin dia lewat jalur resmi, terus anak istrinya dibiarkan berangkat lewat jalur ilegal. Jadi meski dia punya paspor dan jaminan perusahaan, dia tetap memilih pulang bersama sama keluarga,” katanya.
Di sisi lain menggunakan jasa calo, seluruh barang PMI dipastikan aman sampai tujuan. Para calo juga tahu kapan penjagaan petugas sedang ketat atau sebaliknya.
Biasanya tiba di Pelabuhan Tunon Taka, para calo lain sudah menguruskan tiket kapal dan menaikkan barang barang bawaan para PMI.
“Pola yang sama terjadi juga di pelabuhan tujuan. Kemudian para PMI diantarkan oleh sopir yang juga bagian dari para calo, sampai di kampung halamannya,” jelas Arbain. (ES)