NUSANTARANEWS.CO – Mencermati situasi dan ketegangan yang terjadi beberapa hari ini di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, akibat pengukuran dan penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Mahasiswa (PB PMII) mengutuk tindakan anarkis, represif, intimidatif, dan kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun aparat keamanan kepada warga di Majalengka.
Demikian pernyataan tegas Wasekjend PB PMII Bidang Advokasi Kebijakan Publik, Athik Hidayatul Ummah, terhadap tindakan represif aparat keamanan di Majalengka.
“PB PMII mendesak Pemprov Jawa Barat tidak menggunakan jalan pintas untuk penggusuran dengan menurunkan aparat keamanan dan bersenjata. Segera hentikan upaya pengukuran tanah dan penggusuran dengan cara-cara yang tidak manusiawi,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/11) malam.
Athik menegaskan pula bahwa PB PMII mendorong pemerintah untuk mengkaji kembali upaya ganti rugi dan relokasi untuk warga. Program pemerintah harus pro-rakyat dan pro-poor. “Selama ini dalam pengamatan kami, banyak program pembangunan yang hanya menguntungkan para pemilik modal dan elit penguasa. Pemerintah hendaknya perlu memikirkan dampak-dampak yang akan ditanggung oleh warga, jangan biarkan rakyat semakin menderita dan sengsara,” tambah Athik.
Selain itu PB PMII menuntut Kapolri untuk segera membebaskan warga yang telah ditangkap dan ditahan dengan dugaan penganiayaan dan melawan aparat. Warga hanya berusaha membela hak yang patut dibela dan dipertahankan. “Kami meminta Kapolri untuk mengevaluasi Kapolda Jawa Barat dan Kapolres Majalengka,” pinta Athik.
Diterangkan Athik, PB PMII juga mendesak kepada Pemprov Jawa Barat untuk “bertanggung jawab” atas trauma yang dialami oleh ibu-ibu, perempuan, dan anak-anak akibat upaya penggusuran. Segera turunkan tim “trauma healing” untuk membantu mereka.
Terakhir menurut Athik, PB PMII mendesak baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak melakukan tindakan “semena-mena” kepada warga dalam upaya pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Warga akan menerima dengan lapang jika proses musyawarah, komunikasi, dan sosialisasi dilakukan dengan prosedur yang benar. “Jadi, Pembebasan lahan untuk pembangunan harus mengedepankan dialog,” tandasnya. (red-02)