NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dewasa ini, perang modern lebih banyak dilakukan dalam bentuk non militer atau populer dengan sebutan perang asimetris. Jika dikaji secara mendalam, taktik dan strategi perang asimetris sama dengan perang militer. Hanya saja, perang asimetris tidak menggunakan peluru atau persenjataan, tetapi dengan cara melemparkan isu dan praktik adu domba.
Proxy war sering kali menggunakan senjata berupa isu ketimpangan pembangunan, demokrasi, ketidakadilan ekonomi, radikalisasi agama, terorisme, separatisme, kemajemukan masyarakat serta korupsi.
“Secara tidak sadar kita diganggu baik dari dalam maupun dari luar. Pemahaman kita terhadap ideologi tergerus melalui proxy war atau perang asimetris. Bukan perang konvensional tapi dengan cara merusak ideologi bangsa,” ujar Wakil Ketua MPR RI Mahyudin, Kamis (23/3/) lalu.
Baca: MPR: Proxy War Menggerus Ideologi Pancasila
Indonesia mengalami tantangan cukup serius di era perang asimetris, ditambah lagi kondisi Indonesia yang majemuk. Masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) juga menimbulkan persoalan baru. Boleh jadi membanjirnya TKA, bahkan diperikarakan jumlahnya akan mencapai 10 juta orang, merupakan bagian dari strategi dimulainya perang asimetris di tanah air.
Setelah itu, masyarakat yang majemuk diadu-domba agar terpecah-pecah. Tujuannya tak lain agar penguasa mulus menjalankan misinya yakni menguasai seluruh komponen bangsa.
Ambil contoh misalnya peristiwa pembakaran 8 rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara tahun lalu. Boleh jadi merupakan sinyal mulai berjalannya politik adu domba pribumi asli dan keturunan. Betapa tidak, bila Sumatera Utara yang selama ini telah dikenal sebagai daerah percontohan untuk kerukunan umat beragama di Indonesia, tiba-tiba meledak huru hara yang secara spontan membakar rumah ibadah. Dan masih banyak lagi kasus serupa, termasuk isu SARA yang dilemparkan ke dalam Pilkada DKI Jakarta.
Tujuan akhir dari praktik politik adu domba ini adalah balkanisasi nusantara sebagaimana yang telah dicanangkan oleh RAND Corporation. Kembali ke soal perang asimetris, bahwa hal yang perlu diwaspadai adalah para komprador. Karena perang asimetris tidak akan berjalan tanpa peran komprador. Di sinilah terjadi proxy war, di mana penyebaran isu dimainkan oleh individu, atau lembaga sebagai aktor pengganti. Proxy war adalah sebuah bentuk perang yang memainkan pola kontra intelijen. Dan lucunya, di antara para komprador itu di lapangan terkadang tidak saling mengenal.
Finishing-nya baru dilakukan oleh para elit komprador yang berada pada tataran kebijakan. Dengan kata lain, mereka adalah pengkhianat bangsa yang bisa saja sebagai staf ahli, atau bahkan justru sebagai pejabatnya sendiri. Bung Karno menyebut mereka sebagai komprador, orang atau kelompok yang memang berniat menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran. (ed)
Editor: Eriec Dieda