NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sebagai dasar negara, Pancasila mengatur perilakunya negara. Pancasila mengatur “budi pekerti”nya negara, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara. Melalui apa yang ‘terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara’ sehingga rakyat bisa melihat negaranya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Komunikasi Dr. Juri Ardiantoro menegaskan bahwa Pancasila itu sudah menjadi konsensus berbangsa bahwa itu adalah satu-satunya dasar bernegara. Konsekuensi logisnya, sebagai dasar negara, Pancasila mengatur perilakunya negara. Pancasila mengatur “budi pekerti”nya negara.
Jika selama ini hanya rakyat saja yang ‘dikambinghitamkan’ untuk menjalankan Pancasila, lantas bagaimana hukumnya jika rakyat sebaliknya menuntut kepada penyelenggara negara untuk menjalankan dan mengaktualisasikan Pancasila dalam semua kebijakan bernegara?
Maka menurut Ketua PBNU, Dr. Juri Ardiantoro mengaku sangat mendukung dan membolehkannya. “Ya boleh. Tapi itu ada caranya. Semuanya wajib menjalankan negara. Hanya perannya yang berbeda-beda,” tegasnya kepada Nusantaranews.
Itu artinya, tanpa harus bersuara lantang jargon ‘Saya Pancasila, Saya Indonesia’ bagi masyarakat Indonesia, Pancasila sesungguhnya sudah menjadi harga mati. Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM, Diasma Sandi Swandaru, mengatakan Indonesia sebagai negara Pancasila sudah final.
Saat ini, kata dia, tugas dan tanggungjawab utama masyarakat adalah mendesak dan mewajibkan bagi penyelenggara negara tanpa terkecuali untuk menjalankan Pancasila guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Tercatat sejak era Soekarno, era Soeharto hingga reformasi implementasi Pancasila seakan sengaja dijauhkan dari perilaku penyelenggara negara. Sebaliknya, Pancasila justru tampak dengan sengaja dibebankan kepada rakyat yang tak memiliki instrument untuk mengelola negara. Jelas ini lucu dan tidak masuk akal.
Ironisnya, pasca Reformasi, desakan negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjalankan Pancasila semakin tidak berbanding lurus dengan perilaku para penyelenggara negara sendiri. Kebijakan negara yang tak perpihak kepada rakyat serta gurita praktik korupsi elit negara, kian menguatkan jika penyelenggara negara memang ‘anti Pancasila’.
Baru-baru ini, alih-alih pemerintah membumikan Pancasila melalui jargon ‘Saya Pancasila, Saya Indonesia’ justru semakin menguatkan bagaimana rancunya pola pikir pemerintah dalam memandang rakyat. Dimana untuk kesekian kalinya, rakyat dituding sebagai objek yang sedang sakit, sehingga perlu diterapi Pancasila.
Sementara perilaku penyelenggara negara yang menyimpang dan benar-benar sakit justru ditutupi dengan templet-templet bernama isu intoleransi dan keragaman suku. Seolah pemerintah dengan sengaja menyempitkan makna Pancasila. Bahwa Pancasila hanya sebatas menghormati perbedaan. Sungguh cara pandang yang kekanak-kanakan.
Editor: Romandhon