Oleh : Rifki Zidani*
NUSANTARANEWS.CO – “Buatlah kebohongan dengan sederhana, ucapkan berulang-ulang maka orang-orang akan mempercayaimu” begitulah apa yang dikatakan Joseph Goebless, mentri Propoganda dan penarangan sekaligus tangan kanan diktator Hitler saat mendominasi Jerman dengan pembantain jutaan orang Yahudi. Perkataan tersebut serupa dengan fenomena hoax yang marak terjadi di era post-modernisme ini. Dapat diketahui secara difinitif hoax adalah berita kebohongan menghasilkan bualan yang jauh dari sebuah realitas kebenaran secara objektif, tapi terkadang diamini oleh pembaca atau pendengar berita karena minimnya pengetahuan atau terlalu subjektif menilai hal tersebut.
Realitasnya, sebuah berita mencanangkan hal-hal yang faktual, tersaji dengan data-data yang tidak manipulatif agar konsumen dapat mengetahui secara logis dan menerimanya sebagai hal kredibel. Tetapi banjirnya arus informasi di mana teknologi menjadi raja atas kebutuhan manusia, secara drastis berita-berita menyabar dengan interval waktu yang sangat cepat. Dan disaat itu, tidak ada penyaringan yang memadai sehingga diantaranya masuk berita hoax atau berita bohong. Terelepas dari motif pelaku melakukan hal tersebut, fenomena hoax merupakan awal tumbuhnya bibit yanng memicu terjadinya konflik atas lapisan masyarakat yang sifatnya hetorogen. Lalu apakah kita akan menyahlahkan teknologi? lebih tepatnya pada pelaku yang entah didasari kepentingan atau sensasional belaka.
Terjadinya feonomena hoax yang menjalar pada setiap elmen masyarakat disebabkan kebohongan yang diulang-ulang dengan tujuan menciptkan presepsi kebenaran, kemudian dikemas dengan narasi yang meyakinkan. Narasi dibentuk dengan data-data semu seolah valid agar tercipta presepsi yang logis dan sistematis. Tidak cukup dengan hal tersebut diadakannya pengulangan sebagai langkah untuk menguatkan keyakinan sehingga berujung pada doktrin untuk menghasilkan kebenaran. Motif demikian terjadi atas dasar kepentingan yang cendurung parasitisme, merugikan orang lain dan menguntungkan kelompok atau individual tertentu. Entah siftanya politis atau tidak.
Lalu bagaimana analisis kaum berpendidikan sekelas mahasiswa menyikapi permasalahan yang secara terus menerus terjadi, mengingat Subjek dan objek dari hoax tidak hanya pada orang yang minim akan pengetahuan, apalagi disituasi politis yang terjadi di tahun 2019 ini. Ia menyrang siapa saja yang menyebabkan pandangan subjektif dan menguatkan rasa fanatisme, seolah hal tersebut adalah kebeneran yang objektif padahal tidak lebih dari realitas yang dibuat-buat.
Beberapa bulan yang lalu, Indonesia dikejutkan dengan tindakan hoak yang dilakukan Ratna Sarumpet salah seorang juru bicara kubu oposisi (Prabowo-Sandi )dengan isntrumen penganiayaan akan dirinya. Publikpun heboh akan peristiwa tersebut, meskipun pada akhirnya lembaga hukum berkewajiban mengklarifikasi bahwa perbuatan tersebut dibuat-buat. Hal lain yang terjadi, kasus tujuh truk kontainer yang berisi surat pemilahan yang telah dicoblos, ikut serta menghiasi hoax ditahun menjelang pesta demokrasi digelar.
Terlepas ada muatan politik atas tindakan-tindakan tersebut, pada dasarnya hoak adalah penyakit yang bisa disebarkan oleh siapapun dan akan membuat dungu terhadap realita yang sebenarnya. Apalagi perbuatan tersebut adalah kesengajaan untuk menciptkaan propoganda, akibatnya adalah pepecahan atau disetegrasi di dalam tubuh masyarakat. Tidak hanya kasus Ratna dan tujuh truk kontainer surat pemilhan, sesuai dengan data Polri menjelang akhir 2018 setidaknya ada 3.500 konten hoax di media sosial dan dari data tersebu membuktikan pengaruh hoax masih besar di negara berkembang ini.
Semestinya, apapupun yang berkaitan dengan hoak tidak dapat dibiarkan begitu saja, harus ada langkah-langkah antipati yang sepatutnya dilakukan oleh mahasisawa sebagai generasi pemuda yang terdidik. Mahasiswa sebagai agent of change sepatutnya menginterpretasikan gelar-gelar yang disandangkan pada nila-nila emperis untuk meciptakan perubahan kretaif dan inovatif dalam mengedukasi mansyarakat untuk melawan dan tidak terpengaruh pada berita hoax.
Berawal dari hal yang paling mudah untuk dikerjakan. Salah satunya menyeleksi sesuatu yang dipublikasikan oleh diri kita sendiri selaku mahasiswa dengan hal yang tidak mengandung nada-nada provokatif dan kebohongan. Dari suatu kebiasaan tersebut dapat ditularkan pada orang lain agar ikut serta dalam memilah dan teliti untuk mempercayai hal-hal yang sifatnya publikasi. Sebab untuk menciptakan perubahan harus berawal dari diri sendiri. Dengan langkah demikian mahasiswa dapat memberikan eduakasi dengan penalaran yanga logis dalam usaha membersihkan otak masyarakat dari virus-virus hoax.
Tindakan tersebut tidak boleh terhenti sebatas wacana, faktor lain yang mundukung dalam membrantas hoax adalah mahasiswa membudayakan literasi media pada masyrakat. Hal tersbut sebagai tandingan akan hoax yang beredar untuk menggiring opini masyarakat lebih sehat. Dengan penalaran yang kritis dan tranformatif, hoak dapat diredam dan hal tersebut harus dilakukan secara terus menerus. Agar hoax dapat dipastikan benar-benar terbunuh.
Disituasi yang seperti ini, tidak ada alasan untuk para mahasiswa bersikap apatis. Mungkin fenomena hoax hanya berdampak pada penggirangan opini masyarakat yang akan terpecah. Tapi jika dibiarkan akan menjalar pada gerakan-gerkan yang lebih ekstrem. Dalam sebuah coretan sejarah di negara Pamn Sam (Amerika Serikat), Goerge Stinney Jr seorang bocah yang berumur 14 tahun untuk petama kalinya dalam abad ke-20 menjadi korban hoax yang harus dijatuhi hukuman mati. Dia disengat listrik dengan 5,580 volt di kepalanya atas tuduhan membunuh dua gadis berkulit putih. Tetapi 70 tahun berselang tepatnya 2014, seorang hakim di South Carolina memutuskan dirinya tidak bersalah. Ia hanya korban dari kesengajaan yang diatur dan disebarkan berita palsu hanya karena dia berasal dari keluarga kulit hitam.
Dari serpihan sejarah tersebut dapat diambil sebuah intisari bahwa hoax adalah ancaman serius bagi kemaslahatan masyrakat dalam berbangsa dan bernegara. Jika bukan generasi penerus masa depan negara yang ikut andil dalam menimalisir hal-hal yang berdampak negatif, siapa lagi?. Sebagai mahasiswa, harusnya membuang rasa pesimis untuk berbuat adil dan menegakkan kebenaran, seperti halnya membunuh hoax sampai pada akarnya. Sebab dalam larik salah satu puisi Wdiji Tukul mengatakan “kebenaran akan tetap hidup”. Jadi untuk apa mahasiswa pesimis menciptakan perubahan, takut untuk menjujung kebenaran, semuanya akan terjadi sesuai usaha dan optismime dalam melakukan tindakan kemasalahatan bagi masyarakat. Oleh sebab it, bunuhlah hoax sebelum ia membunuhmu!.
*Rifki Zidani, Sumenep Madura, Jawa Timur, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jurusan Hukum Tata Negara dan aktif di Komonitas Kutub Bantul Yogyakarta.