NUSANTARANEWS.CO – Operasi Spring Shield Turki di Suriah gagal total. Dengan kata lain militer Turki tidak mampu memukul mundur pasukan pemerintah Suriah dari seluruh wilayah yang telah mereka bebaskan sejak September 2018. Persis seperti “Perjanjian Sochi” ketika pasukan Suriah tengah mencapai kemenangan besar di berbagai medan pertempuran, tiba-tiba terjadi gencatan senjata
Seperti diketahui, “Perjanjian Sochi” tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan karena Hayat Tahrir al-Sham atau Al-Qaeda tetap bertahan di zona demiliterisasi dan berkolaborasi dengan pasukan “pemberontak misterius”. Hal ini tempaknya terulang lagi dengan perjanjian gencatan terbaru antara Rusia dan Turki di Idlib.
Keberadaan teroris bersenjata berat di zona penyangga pada gilirannya menyulut dimulainya kembali operasi militer untuk pembersihan para teroris oleh pasukan pemerintah Suriah yang didukung penuh oleh Rusia, Iran dan Hizbullah.
Ketika meluncurkan Operasi Spring Shield di akhir Februari 2020, Turki bermimpi bahwa agresi militernya dapat meraih kemenangan cepat dengan memukul mundur Angkatan Bersenjata Suriah.
Di awal operasi, pasukan Turki memang berhasil merebut desa Nayrab dan beberapa posisi terdekat lainnya, termasuk kota Saraqib di jalan raya M5. Namun kemenangan tersebut sirna ketika pasukan koalisi pemerintah Suriah, Rusia, Iran dan Hizbullah melakukan serangan balik di awal Maret.
Pasukan Suriah merebut kembali daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, merebut kembali kota Kafr Nabul. Mengambil kembali puncak bukit strategis dan Syekh Aqil di Aleppo barat, serta memusnahkan pasukan Turki dalam sehari di sana. Bukan itu saja, pasukan pemerintah Suriah juga mengalahkan pasukan koalisi pimpinan Turki dalam pertempuran terbuka untuk memperebutkan kendali posisi-posisi kunci di sepanjang jalan raya M5, dan mengamankan jalan raya M4 untuk mempermudah akses lebih jauh ke selatan.
Ribuan kilo meter persegi telah dibebaskan oleh pasukan pemerintah Suriah dalam rangka membebaskan provinsi Idlib yang kini menjadi pusat komando teroris Al-Qaeda dan pasukan “pemberontak misterius” dukungan Amerika Serikat (AS), NATO, Israel, Arab Saudi, dan Turki di garis depan.
Lagi-lagi gerak maju kemenangan pasukan koalisi pemerintah Suriah terhenti dengan adanya gencatan senjata antara Rusia dan Turki pada hari Kamis lalu. Padahal pasukan Turki tengah mengalami kekalahan dan terpukul mundur. Rusia kemudian mengerahkan unit Polisi Militer untuk mengamankan zona gencatan senjata.
Presiden Recep Erdogan berkunjung ke Moskwa (5/3) tepat di tengah serangan besar-besaran pasukan pimpinan Turki ke Saraqib. Namun, serangan ini berhasil dihalau, dan tiba-tiba terjadi kesepakatan gencatan senjata.
Terakhir, gerak maju pasukan koalisi Suriah sudah mulai menembus garis depan pertahanan Kota Idlib. Washington dan Ankara mulai was-was dengan semakin dekatnya pukulan akhir terhadap pusat komando teroris global mereka.
Perjanjian gencatan senjata antara Rusia dan Turki sebetulnya menegaskan kekalahan militer Turki di Suriah dan menerima secara resmi apa yang telah dicapai oleh Damaskus sejak 2018.
Masalahnya sepanjang zona penyangga di jalan raya M4, berada dalam area yang dikuasai oleh teroris dan pasukan “pemberontak misterius” – yang tidak termasuk dalam perjanjian gencatan senjata. Hal ini, tentu akan dengan cepat memicu perang baru jika para teroris dan “pemberontak misterius” tidak dikeluarkan dari zona penyangga. Segala solusi tidak mungkin tercapai selama pasukan teroris dan pemberontak misterius hadir di dalam wilayah itu.
Kesepakatan baru Rusia dan Turki untuk mengurangi ketegangan di Idlib antara lain:
- Penghentian semua permusuhan sepanjang jalur kontak yang ada sejak tengah malam pada tanggal 6 Maret;
- Rusia dan Turki akan membuat koridor keamanan sedalam enam kilometer di utara dan selatan jalan raya M4;
- Rusia dan Turki sepakat untuk memulai patroli bersama pada 15 Maret di sepanjang jalan raya M-4 di Suriah;
- Semua perjanjian sebelumnya tetap berlaku. Teroris dikecualikan dari gencatan senjata.
Seperti diberitakan, Presiden Erdogan telah berulang kali melanggar apa yang dia setujui dengan Presiden Putin di Astana maupun di Sochi. Apakah Erdogan masih bisa dipercaya?
Turki dengan tegas membuktikan dirinya sebagai pelindung terdepan keberadaan pusat komando teroris Al-Qaeda di Idlib dengan kekuatan militernya.
Turki sangat menginginkan wilayah Suriah utara yang kaya dengan ladang-ladang penghasil minyak.
Sementara sampai berita ini diturunkan, Perang terus berlanjut di Idlib dan tempat lain di Suriah, meski agak mereda setelah ada kesepakatan antara Rusia dan Turki di Moskwa minggu lalu.
Menurut pusat rekonsiliasi Rusia di Suriah, Sabtu (7/3), memang belum ada penghentian perang yang disetujui oleh Putin dan Erdogan di Moskwa. Pasukan koalisi Suriah, Rusia, Iran dan Hizbullah tetap berkomitmen untuk menghilangkan ancaman terorisme di Idlib dan di seluruh wilayah kedaulatan Suriah. (Agus Setiawan)