Artikel

Nurracham Oerip : Hentikan Historical Missing Link di Kalangan Muda

NUSANTARANEWS.CO – Bangsa dengan rasa patriotisme dan nasionalisme tinggi niscaya akan tumbuh sebagai bangsa yang maju, keyakinan ini terpatri kuat pada sosok Nurrachman Oerip. Itulah sebabnya mantan Duta Besar (Dubes) RI untuk Kamboja ini begitu galau saat menyadari ada bahaya mengancam terkait semangat patriotisme dan nasionalisme ini. Terutama, di kalangan generasi muda, calon penerus peradaban bangsa.

Seiring perjalanan waktu, sosok yang dilantik sebagai Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Kamboja oleh Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri pada 29 Juli 2004 ini justru melihat gejala makin lunturnya semangat kecintaan pada Tanah Air. Padahal, kecintaan pada Tanah Air adalah syarat mutlak suksesnya sebuah bangsa.

“Itu persoalan semua bangsa, tak hanya Indonesia. Sayangnya, persoalan dasar itu justru kerap diabaikan,” ungkap diplomat karier kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1946 ini sembari menyebut tiga kunci yang harus terus dipertahankan terkait patriotisme dan nasionalisme, yakni eksistensi, identitas, dan regenerasi.

Jika ditanyakan apa yang salah dengan Indonesia hingga semangat patriotisme makin tergerus, jawabannya adalah karena semangat tersebut tidak selalu diaktualisasikan dalam kehidupan. Suami Indra Ratnawati atau lebih dikenal dengan Nani Nurrachman Sutojo ini justru melihat ada semangat patriotisme dan nasionalisme yang salah arah, terutama di awal reformasi. Bahkan, cenderung emosional dan mengarah pada semangat desakralisasi konstitusi yang kebablasan.

Empat kali amandemen UUD 1945 dan menyisakan pembukaannya sebagai kosmetik politik belaka adalah bukti sikap kebablasan dan tanpa arah tersebut. Inilah awal sebuah petaka. Bahkan, disebut bapak dua putra, Indra Hajar Aryanto dan Urip Nuratno Haryosiswoyo, ini laiknya sebuah bom waktu yang siap meledak jika tidak segera disadari dan dihentikan.

“Akibat amandemen tersebut generasi Indonesia mendatang bisa tergiring untuk tidak memahami lagi secara utuh tentang sejarah bangsanya. Tentang proklamasi kemerdekaan dan kelahiran konstitusi negara bangsanya. Saat ini sedang terjadi historical missing link. Ini bahaya potensial dan sangat memprihatinkan,” tandas tokoh yang sempat menempati pos Wakil Dubes di KBRI Moskow, Rusia, ini.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Nurrachman lantas membandingkan upaya serupa yang tidak harus membawa dampak dahsyat seperti terjadi di Indonesia. Bahkan, membuat warga sebuah bangsa tetap bersikap hormat secara tulus terhadap karya agung para tokoh pendiri negara bangsanya.

“Upaya ini juga tidak membuat sebuah bangsa terjebak untuk mengultusindividukan tokoh pendiri secara berlebihan,” tegas Nurrachman sembari mencontohkan bangsa Amerika yang mampu memelihara rasa patriotisme dan nasionalisme pada tempatnya.

Mampu memahami semangat, nilai, dan makna mendasar dari The Declaration of Independence (1776) dan The Constitution of the United States of America (1787), itulah yang membuat bangsa Amerika tetap kuat mengakar pada sejarah bangsanya. Akar yang tetap membuat keterkaitan masa lalu dan kepentingan kekinian tetap terjaga secara proporsional. Bahkan, konsistensi dan komitmen tersebut menumbuhkan semangat yang mencerdaskan dalam perjalanan berbangsa.

Dengan kata lain, tidak ada sejarah yang terpenggal dari generasi ke generasi. Sebab, masih menurut Nurrachman, bentuk dan materi substantif naskah konstitusi asli negara Amerika Serikat tidak bisa sembarangan diubah, apalagi diganti.

“Setiap perubahan (amandemen), jika perlu dilakukan, ditempatkan sebagai addendum (lampiran tidak terpisahkan) pada naskah asli dokumen konstitusi Amerika Serikat dimaksud. Dengan demikian setiap warganegara Amerika Serikat, generasi demi generasi, baik karena keturunan maupun proses naturalisasi, tetap bisa mengetahui dan memahami segala episode penting dalam perjalanan sejarah negara mereka sejak awal,” papar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia ini.

Momentum Kebangkitan Nasional pada 20 Mei disebut sosok yang sempat menggumuli olahraga tinju ini sebagai saat tepat untuk segera menyadari kesalahan fatal ini. Jika tidak, akibatnya akan sangat berbahaya.

“Historical missing link ini harus segera dihentikan dan dicarikan solusi. Apa sebabnya dengan hasil empat kali amandemen yang diresmikan menjadi UU 2002, sehingga terputus. Kalaupun sekarang ada sosialisasi itu bukan menjelaskan bagimana UUD itu lahir pada 18 Agustus, bagaimana proses kelahirannya, bukan. Saya bilang, mari kita atasi dampak terjadinya historical missing link. Kalau Bung Karno bilang, jangan sekali-kali pernah melupakan sejarah,” lanjut sosok yang melihat “kekuatan besar” Indonesia justru dalam perjalanan tugasnya sebagai diplomat di berbagai negara.

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Dari perjalanan tugas sebagai Dubes inilah Nurrachman menyadari, generasi muda harus diberi pemahaman yang benar. Oleh sebab itu, mencegah berlanjutnya historical missing link adalah harga mati yang harus segera dilakukan.

“Seperti kata Bung Karno, jangan lupakan sejarah. Mengikuti bahasa gaul anak muda, kita harus segera menghentikan historical missing link, segera,” tandas pendiri pusat budaya Bangsa Indonesia, bahkan pusat beladiri pencak silat, saat bertugas di Rusia dan Kamboja ini.

Kelebihan dan keuntungan lainnya yang bisa dipetik oleh sosok yang mengawali kiprah dalam dunia diplomasi di New York ini adalah bisa membandingkan Indonesia dengan negara lainnya secara jernih. Itulah sebabnya, tokoh yang pernah bekerja di Lembaga Pertahanan Nasional ini bisa mengatakan jika Indonesia sebenarnya adalah negara super power.

Lantas apa yang salah dengan Indonesia? Jangankan tampil sebagai negara super power, kondisinya justru laiknya jauh panggang dari api. Mengapa negara yang tidak kaya seperti Indonesia bisa maju, sebaliknya kita yang kaya justru terpuruk? Itulah pertanyaan yang terus mengusik Nurrachman di sela menatap Indonesia dari kejauhan, tempatnya bertugas sebagai diplomat.

“Pasti ada yang salah dengan kita. Ternyata, jawabannya adalah kita tidak memiliki komitmen,” tegas menantu Mayor Jenderal (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi yang gugur pada tragedi nasional 1965 ini.
Tentang ini, Nurrachman mencontohkan kebangkitan bangsa Jepang dan Jerman usai hancur lebur pada Perang Dunia II. Kini kedua negara itu tampil begitu kuat.

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

“(Kaisar) Hirohito bertanya kepada stafnya, berapa orang guru yang masih hidup? Dia tahu persis guru itu pegang kunci. Apakah guru di Indonesia mendapat perlakuan yang layak?” ujar Nurrachman bernada tanya.

Lagi-lagi, jawabannya adalah Indonesia harus segera sadar dari tidur panjang dan segera memperbaiki diri. Tidak cukup sekadar mentertawakan diri sendiri melalui stand up comedy.

“Selama ini kita banyak terjebak pada isu yang diciptakan, yang mengaburkan persoalan pokok yang ada,” lanjutnya.
Padahal, sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki sejarah hebat di masa lalu. Sayangnya, segala kehebatan itu tidak pernah dirawat dengan baik. Jangan heran jika Indonesia akhirnya tampil makin jauh dalam daftar negara-negara maju.
Posisi Indonesia, sebut Nurrachman, hanya di atas Ghana dalam hal kemajuan pendidikan. Kalah jauh dengan negara tetangga, Singapura, yang punya nilai tinggi dalam dunia pendidikan.

Bangsa Indonesia baru menyadari memiliki potensi besar saat bangsa lain menyinggungnya. Bangsa Indonesia juga sering alpa untuk memanfaatkan kekuatan yang ada. Padahal, jika semangat gotong royong yang menjadi kekayaan moral bangsa ini terus digalakkan, negeri mana tak akan gentar?

“Negara tetangga itu ngeri kalo ngeliat bangsa Indonesia, yang nekat kalau sudah punya kemauan keras. Indonesia juga akan kuat kalau selalu mempertahankan semangat bergotong royong,” lanjut laki-laki berpenampilan rapi ini sembari mencontohkan sikap gotong royong warga Bandung menyambut perayaan peringatan konferensi Asia Afrika.

Selain itu, Nurrachman mengingatkan, ada tiga sifat jelek yang harus segera dienyahkan dari bangsa ini, yakni males, munafik, dan maling. Jika sifat jelek 3M ini mampu disingkirkan dan berganti semangat patriotisme, gambaran Indonesia sebagai sebuah negara super power pun bukan sekadar mimpi.

Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jangan sekali-kali mengabaikan sejarah yang terputus, historical missing link, jika tak ingin bangsa ini kehilangan jejak sejarahnya yang dahsyat. (RD)***

Related Posts