BERSANDAR PADA PILAR-PILAR
Ada masanya
Tatkala lalu seorang tua dengan senyum beracun
Setelah jaman Soekarno dan para petani itu
Ratusan orang membentuk lingkaran penonton
Ratusan orang sekaligus memainkan peran
Mereka berlatih teater di antara
Tangga-tangga gedung rakyat
Bukan demonstrasi
Tapi guru dan dosen latihan teatrikalisasi puisi
Tentang teratai hidup di rawa-rawa
Tentang senasib terjerembab di rawa-rawa
Mereka mendadak menjelma penyair
Minum anggur dari kenyataan
Menelan buah kepahitan
Seseorang menguak keramaian
Dengan mengutip Anton Chekov
“Jika bangsa inginkan peradaban
Sejahterakan guru”
“Ya. Gaji kami bagai cacing kepanasan
Perut kosong, mata kunang-kunang
Hidup kami cukup tahu diri
Tak nuntut yang bukan-bukan”
Matahari menjadi latar
Langit bening kebiruan digelar
Sebuah puisi
Melebihi seribu kavaleri
Tapi, dari kerumunan itu
Penonton terpukau
Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya
Bertuliskan “Dijual cepat dan murah
Untuk mengembalikan gaji
Lantaran mengundurkan diri
Sebab mengikuti tugas istri ke lain provinsi”
Orang-orang ribut
Tapi bukan untuk berdebat
Orang-orang ribut
Justru buat sepakat
“Interupsi!
Bagaimana mungkin
Buruh bekerja, mengembalikan keringat upahnya?”
Aisiah, gadis Yogya dari Gadjah Mada
Dalam teka-teki hatinya bertanya
“Bukankah beri upah buruhmu
Sebelum kering keringat?
Tapi kenapa keringat telah berlarat-larat
Hanya lantaran mengundurkan diri
Seorang dosen dipaksa kembalikan upah keringatnya?”
“Astaga! Ini lebih jahil dari Abu Jahal!”
geram seorang wartawan, “Di mana itu?”
“Di satu universitas yang mengatasnamakan umat”
Orang-orang ribut
Tapi bukan untuk berdebat
Orang-orang ribut
Justru buat sepakat
Kami bukan bunga bangkai
Tapi kembang teratai
Kami bukan nyebar kata bangkai
Tapi nuntut manusiawi yang tergadai
Sungguh gedung rakyat menjelma teater
Dan sejernih wajah bocah
Guru merasa penyair
Semoga sajak bukan menambah darah
Aisiah masih bersandar pada pilar-pilar
Ia tak mengerti
Tapi mencoba mengangguk pasti
Dan langit merekam segala itu dalam
Gerimis yang gemetar
Tiba-tiba!
Berderapan penonton lain
Berlapis barikade dengan
Gas airmata dan pentungan
Serentak
Tangan-tangan lalu angkat tangan
Membentuk lingkaran
Melingkar-lingkar kata
Kata melingkar-lingkar
Bukan demonstrasi
Tapi guru dan dosen latihan teatrikalisasi puisi
“Mari bersulang!”
“Untuk guru kita?”
“Bukan!”
“Untuk politisi?”
“Bukan!”
“Untuk polisi?”
“Bukan!”
“Untuk penyair?”
“Apalagi!”
“Habis untuk apa?”
“Untuk siapa?”
“Untuk teratai…..
amiin…..”
Simak: Syekh Siti Jenar dan Gus Dur Berwajah Cinta
AKU RINDU PADA MAHASISWI-MAHASISWA
Kabut, kabut juga yang ngepung
Kampus kita dengan gedung-gedung putih runcing
Di sini tampak lengang
Tak ada mahasiswi-mahasiswa kuliah atau pacaran
Selain asap yang mengerucut
Ke ketinggian : ada dewa
Yang minta sesaji dan dupa
Ke lantai dua dan berikutnya
Segera kita jumpa, teman lama
Anjing-anjing penjaga
Setia pada si Tuan
Dan senantiasa menyalak jika
Mendekat mahasiswa, atau sesuatu
Yang mirip mahasiswa
Kabut, kabut juga yang ngapung
Kampus penuh putih asap kemenyan
Di pintunya
Dari kejauhan tampak gagah
Tak bersuara, tak ada gaduh seperti parlemen
Selain lengking dewata
Memberat, meninabobo raksasa
Angkuh dengan gada
Bersandar di gerbang tua
Dari situ kita akan mengetuknya
Seperti memasuki kuil keramat
Dilarang pakai sandal, sepatu, celana jeans
Apalagi si Rambut Gondrong
Di sini rumah ilmu yang wasiat
Para pendita saban kali lewat
Tak boleh berdebat
Waskita dan wibawa adalah utama
Sekalipun batin penuh piranha
Tahun-tahun akan lewat
Di siang terik
Maka kabut akan sekarat
Di antara bangku-bangku kuliah
Sang Pendita bersandar di kursi dosen
Terbatuk-batuk, dan bergumam kesepian
“Aku rindu pada mahasiswi-mahasiswa
Aku kangen suara mereka
Suara kemurnian yang meronta”
Tapi, asap dupa
Terlanjur membungkam suara
Baca: Kasidah Cinta dan Syi’iran Sunan Bonang
NUN
“Nuun
Walqalami wamaa yasturuun
Maa anta bini’mati rabbika bimajnuun”
“Nun
Demi pena penyair dan puisi yang
mereka lahirkan
Karena sentuhan-Nya
kau tidak menjadi gila”
aku cuma-lah
sebatang pena, yang
ketika engkau angkat, yang
ketika engkau turunkan, yang
ketika engkau tuliskan
nafas dan nafs-ku cuma-lah
tergantung kepada
tiupan udara takdirmu
tetapi
semoga sebatang pena itu
tidak diamdiam di tengah malam
keluar dari kertas putihmu
tidak diamdiam menulisi
sembarang sempat
sehingga ia tersesat jalan pulang
kembali kepada kotak
tekateki takdirmu
maka pegang-lah
bagai alif, aku
sebatang pena, yang
sekali sentuhmu
pena ini akan menggila
tersebab gandrung oleh
pukau maha tanganmu
KEPADA KAWAN
(LPM)
ketika jurnalis tidak mampu menulis
ketika jurnalis tidak mau menulis
cuma lukisan ruwet kata yang
akan menjadi berita
di saat jurnalis cuma ingin
menjadi berita
di saat jurnalis cuma ngungun
membaca berita
berita siapa
siapa yang
pesan berita
siapa yang
di balik berita ada bingkai raksasa
tampak ramai bicara
bagai lebah siap sengat
atas nama rakyat
tetapi begitu pembaca lelah
beralihlah alkisah
segala dan semua tetaplah
tidak mengubah menjadi buah
demokrasi tetaplah demi kursi
kursi tetaplah demi dasi
dasi tetaplah demi korupsi
korupsi tetaplah demikian …
Yogyakarta, 1 Mei 2016
PANGKUAN HATI
ke haribaanmu segala pergi berpulang
matahari meninggi awan menabiri
ke pendengaranmu semua keluh mengeringkan peluh
hujan angin menggiringku padamu menghampiri
datang pergimu harapharap cemasku
sapa sepimu merajami aku dengan batu
makilah aku dengan cemburumu
awasi aku di setiap ruang waktu
ke kakimu segala keakuan mencium
matahari merendah hati terbit senyum
segenap pandang berakhir ke cakrawala
ke haribanmu segala pergi berpulang cinta
Yogyakarta, 20 Februari 2016
Simak:
Mencari Puisi di Tahun Baru
Sumpah Buruh, Aku Air Mata
Riwayat Yaman Wulung dan Kecubung Wulung
Sekuntum Senyum dan Rindu yang Meluapluap
Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Achid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan sekarang sedang studi Program Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo.
Buku-buku karya Achid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014).
Website: www.wachid.8m.com; E-mail: abdulwachidbs@yahoo.com dan abdulwachidbs@gmail.com; Twitter @abdulwachidbs; Facebook: www.facebook.com/abdulwachidbs
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.