NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Setahun menjelang berakhirnya kepemimpinan Jokowi-JK, perlu kiranya untuk kembali mengingat-ingat janji keduanya selama masa kampanye pada tahun 2014 silam. Salah satu aspek yang dijanjikan dalam konsep Trisakti dan Nawa Cita, ialah terkait urusan otonomi daerah.
Bersama Jusuf Kalla, Jokowi berjanji akan memperkuat politik desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan akan diambil dengan proritas utama di antaranya meletakkan dasar dimulai desentralisasi ‘asimestris’ untuk melindungi kepentingan nasional di kawasan perbatasan, memperkuat daya saing Indonesia secara global, dan membantu daerah kapasitas berpemerintahan yang belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.
Kedua, mensinerjikan tata-kelola pemerintahan sebagai suatu sistem tidak terfragmentasi. Ketiga, menyelesaikaan problem fragmentasi penyelenggaraan politik desentralisasi di pusat, menggantikan dominasi rezim sektoral dan keuangan dengan rezim desentralisasi. Operasionalisasi rezim desentralisasi dilakukan dengan pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator.
Keempat, mengatur kembali sistem distribusi keuangan nasional dengan melihat kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris. Kelima, merubah kebijakan DAU sebagai salah satu sebab mendorong pembentukan daerah otonom baru (DOB) dan mengharuskan adanya pentahapan dalam pembentukan DOB.
Keenam, mereformasi keuangan daerah, mendorong mengurangi biaya rutin dan alokasi lebih banyak untuk pelayanan publik.
Ketujuh, mereformasi pelayanan publik melalui penguatan Desa dan Kelurahan (UU Desa), Kecamatan (UU Pemerintahan Daerah) sebagai ujung tombak pelayanan publik. Kedelapan, mendorong perubahan UU ttg Kewarganegaraan, memberikan hak bagi setiap warga negara; melanjutkan reformasi sistem kependudukan nasional terintegrasi (Nomor Induk Kependudukan Nasional).
Terakhir, meningkatkan kapasitas Pemerintah Nasional lebih menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan bagi daerah otonom lebih maksimal; mendorong penggabungan atau penghapusan daerah otonom.
Setelah Jokowi berhasil menjadi Presiden RI, diterbitkan RPJMN 2014-2019, juga menyajikan isu strategis untuk dipecahkan terkait kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mencakup: Restrukturisasi organisasi perangkat daerah (OPD), Penataan kewenangan antar tingkat pemerintahan, Penataan daerah, Kerjasama daerah, Harmonisasi peraturan perundang-undangan, sinergitas perencanaan dan penganggaran pusat dan daerah, Akuntabilitas dan tata pemerintahan, Peningkatan pelayanan publik, serta otonomi khusus.
Menurut peneliti senior NSEAS Muchtar Effendi Harhap, janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita) dan program (RPJMN 2014-2019) akan dikerjakan Presiden Jokowi sehubungan urusan otonomi daerah sesungguhnya sangat luas. “Namun, setidaknya kita dapat mengambil intisari permasalahan otonomi daerah menurut Jokowi,” katanya, Jakarta, Kamis (4/1/2018).
Pertama, kata dia, adanya fragmentasi dalam tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan politik desentralisasi di pusat, serta dominasi rezim sektoral.
“Jokowi akan memecahkan masalah ini dengan pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator (Menko). Sudahkah Bappenas dan Menko selama tiga tahun ini mengutamakan pendekatan kewilayahan? Kayaknya sih belum! Dominasi rezim sektoral dan keuangan masih menguat, tidak ada perubahan berarti,” jelasnya.
Kedua, pelayanan publik di daerah dinilai masih rendah dan harus ditingkatkan. Presiden Jokowi akan mereformasi pelayanan publik melalui penguatan pemerintahan Desa/Kelurahan (UU Desa) dan Kecamatan (UU Pemda) sebagai ujung tombak pelayanan publik. “Sudah tiga tahun berjalan kekuasaan Jokowi, perhatian terhadap masalah ini justru sangat rendah. Tidak ada kegiatan berarti baik regulasi, kebijakan maupun kegiatan pembinaan Pemerintah Nasional untuk peningkatan pelayanan publik di daerah ini. Selama ini Jokowi lebih memperhatikan dan memperioritaskan pembangunan infrastruktur, fisik, ketimbang penguatan kelembagaan pemerintahan daerah,” paparnya.
Malah, katanya, di suatu pengarahan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota se-Indonesia di Istana Negara, Jokowi mengingatkan, politik anggaran penting tapi pengelolaan APBD jangan lagi menggunakan pola lama. Kebijakan anggaran dilakaukan para Kepala Daerah hampir semuanya mirip, masih menggunakan pola lama. APBD tersedia dibagikan secara merata kepada para Dinas.
Sementara, program prioritas berhubungan kepentingan rakyat tidak diperhatikan secara penuh. Sehingga, kilah Jokowi, anggaran ‘menge-drive” adalah Kepala Dinas. Idealnya, Gubernur, Bupati dan Walikota berani menentukan penggunaan anggaran dianggap memiliki dampak signifikan bagi sektor produktif. “Hingga kini pemikiran Jokowi ini baru level pengarahan lisan, belum dalam bentuk kebijakan politik atau regulasi,” ujarnya.
Ketiga, pembentukan DOB harus bertahap, tidak boleh langsung terbentuk. Untuk itu harus ada perubahan kebijakan DAU. Parameter pembentukan DOB menunjukkan, selama tiga tahun Jokowi berkuasa, tidak ada satupun pembentukan DOB. Sikap Presiden Jokowi selama tiga tahun ini memastikan moratorium pemerkaran DOB tetap berlanjut.
“Selama era pemerintahan Jokowi belum ada pembentukan DOB,” katanya.
Pemerintah masih menunda pemekaran 314 DOB sudah diusulkan DPD (173 DOB) dan DPR (141 DOB). Mengapa ditunda? Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, anggaran negara sedang diprioritaskan dulu untuk kebutuhan mendesak seperti pembangunan infrastruktur dan mempercepat kesejahteraan rakyat di daerah.
Wapres Jusuf Kalla juga berkilah, usulan DOB sulit direalisasikan mengingat pemekaran daerah membutuhkan alokasi anggaran besar. “Seperti dimaklumi, defisit kita makin tinggi secara persentase. Kami harus selesaikan dulu masalah pokoknya, ya masalah anggaran itu,” ujarnya (28/8).
Dapat disimpulkan, sudah tiga tahun lebih kekuasaan Presiden Jokowi, urusan otonomi daerah belum menunjukkan perubahan berarti. Bahkan, para pengamat otonomi daerah masih mengkritis kondisi obyektif otonomi daerah, antara lain Masih berlakunya tumpang tindih kewenangan antar institusi pemerintahan dan aturan berlaku; Pelayanan publik masih lamban, terlalu birokratis, kurang responsif dan jauh dari standar umum dan berlaku universal (faster, better dan cheaper); Menjamurnya praktik korupsi pemimpin daerah; dan Kecenderungan pemimpin daerah bersifat elitis dan bagaikan “Raja-raja Kecil”.
Menurut Muchtar, Kebijakaan desentralisasi dan otonomi daerah semula diharapkan mampu mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis; mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan meningkatkan kapasitas publik. Namun, di era Jokowi masih terjadi kesenjangan besar antara perubahan tingkat konseptual dengan perubahan tingkat pemahaman dan perilaku penyelenggara pemerintahan daerah. Dominasi elit daerah tetap ada bahkan oligarki politik ekonomi masih berlangsung, dan jauh dari cita-cita negara demokrasi. Kaum oligarki menyandera negara acap kali terjadi di daerah sebagai turunan dari Pusat.
“Tentu saja Jokowi tidak akan mampu mewujudkan tatanan sistem pemerintahan daerah dimaksud mengingat waktu berkuasa hanya tinggal sekitar 1,5 tahun lagi. Bagaimanapun, kinerja Jokowi urus otonomi daerah belum bagus dan masih jauh dari keberhasilan berdasarkan janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita) dan program (RPJMN 2014-2019),” pungkasnya. (red)
Editor: Eriec Dieda