ArtikelKolom

Natalius Pigai: Revolusi Konstitusional, Bagian III

kasus ham, komnas ham, jual kasus ham, pelanggaran ham, dugaan pelanggaran ham, kerusuhan 27 juli, kudatuli, natalius pigai, komna ham, pdip jual kasus ham, nusantaranews
Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. (Foto: dok. Pribadi)

NUSANTARANEWS.CO – Natalius Pigai menulis narasi tentang situasi bangsa bertajuk Revolusi Konstitusional sebagai kelanjutan dari artikel sebelumnya. Bangsa ini sedang mengalami problematik secara kronis sepanjang lebih dari 50 tahun. Salah satu sumber persoalannya dimulai ketika negara ini mengambil 3 senyawa yang berbeda dalam satu wadah yaitu nasionalisme, agama dan komunis. Bagaimana mungkin tiga pilar yang bertentangan bisa dipaksa dalam satu wadah.

Nasionalisme yang mengedepankan cinta pada tanah air dan bangsa yang bersifat profan, duniawi dan alam pikir sekuler. Sedangkan agama berbicara tentang hubungan transendental antara Tuhan dan manusia. Tuhan dijadikan sebagai sumber moral dan pusat kekuasaan dan komunisme yang mengajarkan cara pandang materialisme, sebuah dialektika dan logika tentang peniadaan Tuhan.

Sangat kontras dengan posisi ideologi politik-ekonomi negara-negara dunia ketiga di mana dunia berada dalam perang dingin antara blok barat dan timur. Bandingkan di Tanzania, pejuang dan proklamator bangsa Sanzibar dan Tanggayika Prof Julius Nyerere membangun doktrin sosialisme ujama yaitu kombinasi antara sistem sosialis, kapitalis dam nasionalisme berpusat pada rakyat agrarian. Agama ditempatkan pada posisi Agung (adiluhung).

Sebenarnya akhir tahun 1960-an ketiga pilar ini sudah mulai pudar dan pecah bahkan komunisme dibubarkan bahkan dilarang dan tidak berada satu wadah, namun 1973 ketika terjadi fusi partai, kekuatan komunisme masuk dalam mesin utama sebuah partai menjadi kekuatan utama sebuah partai yang bertahan sampai sekarang.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Sedangkan kelompok agama sebagai penentang komunisme masih memiliki ingatan akan trauma dan tragedi (memoria pasionis), bermusuhan dan menyimpan dendam kesumat atas peristiwa 65. Sepanjang kekuatan komunisme ini masih ada dalam mesin utama politik maka persoalan bangsa ini tidak akan pernah berakhir. Dampaknya hari ini kita menanggung dosa sejarah dan akan terus menjadi noda hitam bangsa dalam sejarah Indonesia.

Berbicara tentang komunisme adalah pembicaraan yang paling sensitif di negeri ini. Keberadaan komunisme masih menghantui sebagian besar rakyat Indonesia. Namun hari ini pemerintah menjalin hubungan dengan negara komunis China menunjukkan mengambil politik luar negeri lebih ekstrim melampaui pakem politik bebas dan aktif. Kebijakan politik luar negeri pemerintah yang lebih condong ke China dibandingkan negara-negara Amerika, Eropa bahkan Jepang cenderung mengancam eksistensi negara Republik Indonesia. China adalah super Power bidang ekonomi, politik, militer juga finansial.

Pada Bulan Oktober 2017, Konggres Nasional Partai komunis China telah menetapkan 4 hal penting terkait Indonesia yang harus dicermati dan diwaspadai.

Pertama, menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China sekaligus sebagai Ketua Politbiro Partai Komunis China. Di mana Jingping pernah ke Jakarta merumuskan konsep Jalur Sutera di Jakarta.

Kedua, Partai Komunis China menetapkan perantau (diaspora) China di seluruh dunia ditetapkan sebagai bangsa China, dan China mengenal warga negara mengikuti pertalian darah (ius sanguinis).

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Ketiga, keputusan Partai Komunis China bahwa kurang lebih 400 juta orang harus keluar dari China, karena ruang dan kapasitas di China tidak cukup mampu menampung pertumbuhan penduduk.

Ada korelasi dan signifikan jika adanya penetrasi kapital China, pembukaan kawasan industri, pembangunan kawasan real estate dan reklamasi pesisir partai, penguasaan agro wisata, agro industri dan perkebunan yang luas adalah miliu di mana potensial bagi tempat penampungan penduduk China sesuai target Partai Komunis China. Inilah harus dicurigai dan diwaspadai bangsa ini.

Keempat, pilar bangsa. Saya harus mengulas satu per satu untuk memahami cara pandang out of the box tentang 4 pilar ini. Kita mesti kembangkan pemikiran baru yang lebih dinamis dan fleksibel menyertai perkembangan jaman.

Pancasila. Ironi memang! Hari ini, Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik, Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung didalil dan jargon One men, One Vote, dan One Value di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power).

Soal distribusi kekuasaan ini amat penting. Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai azas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki azas yang berbeda-beda, ada yang berazas agama, ada yang berazas budaya, ada yang berazaz kepribadian suku dan bangsa di nusantara.

Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan agar termasuk tuntutan akan adanya piagam Jakarta dan juga piagam Madina. Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradap, istilah ‘adil dan beradab’ itu kata kerja bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack), demikian pula persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianime dan etnisistas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamophobia, Kristenphobia, Papuaphobia, Jawaphobia, Baliphobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur di mana-mana.

Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem winers takes all, pemenang ambil semua, tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita Persebaran penduduk yang tidak seimbang, Jawa masih dominan dari suku lain maka bukan tidak mungkin Presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini, ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku. (Bersambung ……)

Editor: Eriec Dieda & Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,066