Muhasabah Kebangsaan: Pendangkalan dan Penyempitan Islam

Zastrouw Al Ngatawi/Foto: Dok. ikhac.ac.id

Zastrouw Al Ngatawi. (Foto: Dok. ikhac.ac.id)

Oleh: Al-Zastrouw*

NUSANTARANEWS.CO – Islam adalah agama yang luas dan mulia. Keluasan ajaran Islam tidak saja karena meliputi berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya, tetapi juga pada kandungan nilainya yang universal. Sehingga tidak saja berlaku bagi ummat Islam tetapi juga oleh seluruh alam, termasuk ummat non muslim.

Keluasan Universalitas nilai ajaran Islam ini tercermin dalam kalimat Rahman dan Rahim serta rahmatan lil’alamin yang bisa dirasakan oleh siapa saja

Menurut Muh. Arkoun, keluasan Islam itu terjafi karena dia merupanan cerminan Kalamullah yang luas tak terbatas, yang menampung dan meliputi segalanya. Agar kalamullah yang luas tak terbatas itu bisa dijangkau oleh akal dan pikiran manusia yang terbatas maka disimplifikasi dalam agama yang disampaikan melalui Nabi.

Setelah Nabi wafat para ulama berupaya mengurai ajaran Islam yang luas itu menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik agar lebih mudah dipahami dan dijalankan oleh ummat Islam.

Proses ini berjalan secara massif pada abad ke 8 s/d 13M yang dilakukan oleh para ulama generasi tabiin. Pada fase lahir berbagai cabang ilmu seperti tafsir, hadits, fiqh, tauhid/kalam dan tasawwuf

Pada peride ini juga lahir beberapa ilmu alam (science) dari pemikiran keagamaan para ulama seperti ilmu kedokteran dengan tokohnya al-Razi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, juga al-Kawarizmi yang ahli matematika, ibn Hayyan ahli kimia, al-Fazari ahli astronomi dsb.

Meski terjadi pembagian ajaran Islam dalam berbagai bidang keilmuan namun bukan berarti terjadi penyempitan dan pendangkalan ajaran Islam. Sebaliknya, hal ini justru menunjukkan keluasan dan kemuliaan ajaran Islam.

Ada dua hal yang menyebabkan hal ini terjadi; pertama karena masing bidang keilmuan tidak mengklaim dirinya sebagai pemegang kebenaran Islam sehingga merasa kelompoknya yang paling sah mewakili Islam. Kedua, masing ilmu dikembangkan sbg upaya menggali dan mengbangkan ajaran Islam, bukan karena ambisi dan kesombongan ego pribadi maupun kelompok. Dengan spirit ini masing-masing bidang ilmu bisa bersinergi dan menjadi cermin keluasan dan kemuliaan Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran science yang merupakan cerminan dari ajaran Islam yang luas dan mulia ini dikembangkan oleh Barat. Meski dunia science berkembang pesat, namun menjadi jauh dari spirit Islam (agama) karena sekularisasi.

Oleh dunia Barat Islam (agama) yang dulu menjadi sumber pengetahuan dianggap menjadi beban yang menghambat pemikiran. Oleh karenanya agama harus disingkirkan dari sciece agar bisa berkembang dengan pesat. Dari sinilah proses pendangkalan dan penyempitan ajaran Islam terjadi.

Di tengah perlembangan science yang makin maju di dunia Barat, ummat Islam masih sibuk berdebat soal teologis. Dan perdebatannya semakin keras dan kasar hingga membuat masing-masing kelompok terpenjara dalam frame pemikiran masing-masing.

Menurut Hassan Hanafi, perdebatan teologis seperti ini terlalu elit dan abstrak krn tdk memiliki relevansi dengan realitas keduniaan yang secara riil dihadapi masyarakat.

Yang lebih mengerikan perebatan sekarang justru terjadi pada level simbolik formal dengan mengabaikan hal-hal yang substansial. Tudingan kafir, sesat, thoghut dan sejenisnya diberikan pada kelompok lain hanya karena perbedaan pemikiran politik dan praktek ritual keagamaan non formal (ghairu mahdlah)

Padahal beberapa abad sebelumnya Imam syafii sudah mengingatkan bahwa dalam soal pemikiran keagamaan beliau menyatakan; “pendapatku benar, tapi bisa jd salah. Dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”

Pernyayaan imam Syafi’i ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam membuat klaim kebenaran atas nama agama. Inilah yang menyebabkan para ulama dahulu tidak pernah mengatas namakan Islam atau ummat Islam saat menghadapi persoalan hukum negara.

Issu khalifah Islam, bentuk negara sebagai sarana penerapan syariat Islam sebenarnya adalah soal pemikiran keislaman. Oleh karenanya akan menjadi sikap yang mempersempit dan mendangkalkan ajaran Islam jika pemkiran tersebut dianggap sebagai Islam itu sendiri, sehingga yang menolak dianggap menolak Islam.

Yang lebih parah jika Islam hanya diindetikkan dengan satu kelompok. Atau Islam dimonopoli oleh satu kelompok saja. Misalnya HTI. Hanya karena mengusung issu khilafah seolah-seolah dialah Islam, sehingga ketika menolak keberadaan HTI dianggap menolak Islam. Membubarkan HTI sama dengan membubarkan Islam.

Pemikiran seperti ini tidak hanya mempersempit dan mendangkalkan Islam tapi juga melecehkan Islam. Apakah mungkin Islam yang demikian luas dan mulia hanya diwadahi dan dicerminkan dalam suatu wadah dan simbol yang kecil seperti HTI? Sehingga pembubaran terhadapnya diklaim sebagai pembubaran Islam? Dan penolakan terhadapnya dianggap sebagai penolakan terhadap Islam?

*Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.
Editor: Achmad Sulaiman

Baca tulisan menarik tentang Muhasabah Kebangsaan karya Budayawan Al-Zastrouw

Exit mobile version