InspirasiKolomTerbaru

Muhadjir Keliru Mengartikan Program Nawa Cita dalam Pendidikan Karakter

NUSANTARANEWS.CO – Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy menjelaskan pendidikan karakter sesuai Nawa Cita bagi siswa pendidikan dasar hingga menengah. Muhadjir mengatakan, awalnya ide ini muncul saat dirinya mendapatkan tiga tugas dari Presiden Joko widodo (Jokowi). Tiga hal tersebut adalah pertama mempertajam pendidikan vokasi, mempercepat Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan merealisasikan pendidikan karakter yang terkait dengan revolusi mental.

Yang kemudian Muhadjir menyimpulkan pemerataan di pendidikan lebih fokus ke KIP, ketenagakerjaan vokasi dan pendidikan karakter. Berangkat dari hal tersebutlah, Muhadjir lalu merumuskan pendidikan karakter berdasarkan Nawa Cita.

Ada dua hal yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan pendidikan karakter ini. Pertama dengan mengubah kurikulum, yang menurutnya tidak mungkin dilakukan saat ini, atau kedua dengan menerapkan pendidikan karakter yang diberikan di sekolah.

Pendidikan karakter tidak mungkin dimasukkan ke dalam pelajaran karena penanaman sikap bukan pengetahuan. Makanya harus ada penambahan ekstra di luar mata pelajaran. Jadi ada waktu anak di sekolah untuk mendapatkan aktivitas dalam rangka menanamkan karakter itu, salah satu caranya yakni dengan menerapkan ‘Full Day School‘.

Baca Juga:  Debat Ketiga, Cagub Luluk Sorot Krisis Lingkungan di Jawa Timur

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listiyanti menganggap bahwa Muhadjir justru keliru mengartikan program Nawa Cita dalam pendidikan karakter yang digembar-gemborkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berkampanye pemilihan presiden (pilpres).

“Dalam Nawa Cita memang memperkuat, yang memperkuat itu sebenarnya karakter yang seperti apa. Misalnya seperti Ki Hajar Dewantara saat itu mengatakan membangun karakter paling bagus ini di pendidikan dalam hal ini adalah pada sekolah. Jadi ketika anak memiliki karakter yang berbeda-beda dan ada anak yang dididik dengan kekerasan dan ada juga yang didik dengan tidak kekerasan di rumah, nah di sekolah anti kekerasan di galangan, artinya semua anak disadarkan bahwa kekerasan memang tidak boleh. Di situlah karakter positif dibangun,” jelasnya dalam sebuah diskusi publik di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2016). (restu/red01)

Related Posts

1 of 3,060