Merajut Asa Kebangsaan dan Keislaman untuk Persatuan Indonesia

Ilustrasi Aksi 411 di Jakarta/Foto: Dok. Okezone

Ilustrasi Aksi 411 di Jakarta/Foto: Dok. Okezone

Oleh: Hilkadona Syahendra*

Pada dasarnya tulisan ini adalah lanjutan Bagian Rekomendasi dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Kapitalisme Cina dan Utopia Kemerdekaan Pribumi”. Dalam bagian Rekomendasi tersebut, saya mengajak untuk seluruh elemen bangsa Indonesia bersatu dan melupakan sejenak berbagai perselisihan belakangan ini. Sebab kita memiliki kepentingan dan ancaman bersama secara eknomi dan politik internasional.

Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini agaknya memang cukup menguras emosi, fisik dan nurani. Berbagai dinamika yang sekilas terlihat adanya ketimpangan keadilan hukum di negeri ini. Hukum tidak berlaku terhadap penguasa dan pengusaha, atau mereka yang hidup di balik lindungan bayang-bayang penguasa.

Sedangkan hukum berlaku terhadap mereka yang lemah, rakyat jelata biasa dan terhadap mereka yang berseberangan dengan penguasa. Hukum tajam ke lawan, tumpul ke kawan.

Akan tetapi, melihat realitas seperti ini, berkali-kali saya tenggelam dalam ingatan perjuangan para pendiri bangsa yang mengorbankan jiwa dan harta untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Tetapi apa yang telah dilakukan oleh generasi selanjutnya? Mungkin tidak sejalan dengan Cita-cita awal pendirian bangsa dan negara Indonesia.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno “Perjuanganku mudah, karena hanya mengusir Penjajah. Sedangkan perjuanganmu lebih berat, karena melawan bangsamu sendiri”. Sebuah statemen yang perlu kita refleksikan bersama dalam menyikapi tantangan kebangsaan kita.

Dalam merespon realitas kebangsaan hari ini Ada beberapa pandangan yang ingin saya tuntaskan sebagai diri pribadi dan ingin saya sebar luaskan sebagai tanggung jawab moral sosial yang terpatri di dalam jiwa.

Falsafah NKRI

Bukan bermaksud kembali mengingat konflik masa lalu, tetapi dalam tulisan ini saya harus ajak seluruh intelektual Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Kita harus belajar objektif melihat sejarah. Menerima setiap fakta walaupun terkadang kita kurang suka.

Islam politik belakangan dijadikan cara untuk mempolarisasikan menjadi 2 kubu persis seperti masa lalu. Demokrasi telah memberi ruang kebangkitan islam politik sebagai wujud perlindungan terhadap prinsip atas Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini, Saya tidak berbicara benar atau salah.

Namun harus saya katakan, dekonstruksi terhadap keyakinan persatuan bangsa Indonesia dan Islam yang merupakan satu kesatuan, di setiap rezim mengalami benturan-benturan yang cukup kuat. Bahkan dinamika ini sudah mulai di era pra kemerdekaan. Ketika sang Pencetus Mosi Integral Pendirian NKRI, Mohammad Natsir, berdebat secara lisan dan tulisan dengan Proklamator Kemerdekaan Indonesia, yakni Bung Karno.
Perdebatan 2 tokoh sentral ini adalah mengenai konsepsi negara yang ideal. Natsir menginginkan negara berdiri atas asas islam. Sedangkan bung karno tidak menginginkan agama menjadi asas dari sebuah negara. Apapun itu, yang pro Natsir atau pro Bung Karno menjadi tidak produktif ketika mengedepankan sisi perbedaan nya. Sebab umat islam dan bangsa indonesia hari ini begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi menyelamatkan peradaban indonesia.

Mari kita kedepankan sisi persamaannya. Pertama, Natsir dan Bung Karno sama-sama seorang Nasionalis yg ingin bangsa Indonesia lepas dari jajahan dan penindasan Bangsa Asing. Kedua, Natsir dan Bung Karno menginginkan Persatuan Bangsa Indonesia. Ketiga, Natsir dan Bung Karno sama-sama mementingkan aspek Ketuhanan.

Kalau berbicara perbedaan, tak akan ada habis nya. Yang paling penting adalah bukan mencari mana yang benar dan mana yang salah, tetapi mana yang tepat di masa dan tempat tertentu. Bung Karno dan Natsir ketika berbicara persoalan dasar negara selalu bertentangan, tetapi berbicara sisi lain tidak banyak yang berbeda.

Itulah sebabnya kedua tokoh ini terus berjuang hingga berhasil memerdekakan Indonesia dan mengembalikan kedaulatan NKRI pasca Konferensi Meja Bundar 1950 melalui perjuangan Mosi Integral Mohammad Natsir.

Akan tetapi diperjalanan selanjutnya terjadi dinamika, ketika tahun 1955 dilaksanakan pemilu untuk pertama kali. Kemudian dibentuklah Konstituante, sebuah lembaga yang bertugas menyusun kembali UUD 1945 yang dipimpin oleh Willopo. Hingga tahun 1959, kerja Konstituante ternyata tak menemukan titik temu ketika membahas dan memperdebatkan kembali mengenai dasar negara. Para pemimpin kita saat itu di konstituante terbelah menjadi 2 kelompok besar. Pertama, kelompok yang pro terhadap pengembalian 7 kata Pancasila versi Panitia sembilan (Piagam Jakarta). Kedua, kelompok yang menolak 7 kata tersebut.

Perdebatan kedua kelompok besar ini berakhir dengan keluarnya dekrit presiden Soekarno, 5 juli 1959 yang salah satu poin nya membubarkan Konstituante karena tidak bisa menyelesaikan tugasnya. Kemudian selanjutnya diikuti dengan peningkatan memanasnya dinamika perpolitikan saat itu hingga berakhir pada pembubaran Partai Masyumi, partainya Mohammad Natsir dan Partai Sosialis Indonesia. Pada era itu terjadi konflik politik diantara elit yang diikuti pembubaran kedua partai tersebut.

Itu fakta yang tak bisa kita bantah, bahwa islam politik dan perjuangan politik Bung Karno mengalami benturan-benturan yang berakhir pada pembubaran kekuatan islam yg saat itu ada di Masyumi. Saya melihat di dalam perjalanan sejarah selalu ada pihak yang khawatir dengan kebangkitan islam politik. (Bersambung…)

*Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Publik Pengurus Daerah KAMMI Jakarta Selatan
Editor: Achmad Sulaiman

Exit mobile version