NusantaraNews.co – Kasus Freeport selalu manjadi ajang pencitraan murahan elite pemerintahan dengan berpura-pura nasionalis. Akan tetapi, pada dasarnya mereka hendak mengibuli rakyat. Setiap masalah dengan Freeport selalu berakhir dengan deal deal yang menjijikkan. Antara kata dan perbuatan pemerintah tidak sama. Ibarat pepatah “lain di bibir lain di hati”.
Mari kita lihat apa yang tengah menjadi point krusial antara pemerintah dengan Freeport:
Pertama, soal kepemilikan saham pemerintah 51%. Dalam soal ini pemerintah mengatakan akan memgambil alih freeport dengan kepemilikan 51%. Itu dimulut pemerintah. Tapi prakteknya nanti pemerintah tidak akan pernah mendapatkan sebesar itu. Mungkin sampai freeport berakhir, pemerintah tidak akan punya saham sama sekali. Akan tetapi segelintir oligarki kekuasaan akan punya saham. Apa dasarnya? Pemerintahan sedang kere mana mungkin beli saham senilai Rp. 100 triliun. Besar kemungkinan yang terjadi jual beli kebijakan untuk kepentingan pribadi seperti yang terjadi sekarang dalam kasus freeport.
Kedua, soal perubahan kontrak karya menjadi IUPK. Saya kira freeport akan berhitung mengubah kontrak karya menjadi IUPK dalam. Situasi politik indonesia yang rawan dengan perubahan kebijakan. Ganti pemimpin ganti kebijakan. Pemerintah pedagang dan tukang peras begini rawan menggunakan kebijakan untuk alat pemerasan. Jadi perubahan ini akan memghadapi masalah yang besar dan tidak akan berjalan. Padahal perubahan kontrak karya menjadi IUPK telah memberi freeport keleluasaan mengeksploitasi tambang hingga 20 tahun ke depan. Itu saja sudah melanggar rasa keadilan rakyat.
Ketiga, soal Pembangunan smelter. Kebijakan pembangunan smelter harusnya sudah tuntas 2014 lalu. Sudah tiga tahun pemerintahan Jokowi tidak ada kemajuan sama sekali soal pembangunan smelter Freeport. Yang ada ngibul sana ngibul sini atau dalam bahasa jawanya ngalor ngidul. Faktanya dalam 3 tahun terakhir tidal ada progres pembangunan smelter. Pemerintah memberi kesempatan lima tahun lagi dengan cara melanggar UU minerba. Pelanggaran yang akan terus berulang ulang dimasa mendatang dalam bentuk yang sama. Deal deal tertutup yang merugikan negara.
Keempat, soal negosiasi sistem pajak bagi freeport. Pemerintah mau menerapkan sistem pajak yang berubah ubah. Sementara freeport mau sistem pajak yang bersifat tetap. Dengan sistem pajak berubah ubah maka pemerintah bisa menaikkan sesuka hati atau menurunkan sesuka hati. Dengan demikian maka kebijakan ini rawan menjadi ajang bancakan penguasa. Kebijakan ini rawan dipertukarkan dengan uang. Misalnya freeport akan diturunkan pajaknya tapi setor ke individu penguasa. Sangat mungkin hal ini terjadi dalam pemerintahan oligarki yang korup. Freeport sudah pasti akan menolak modus pemerasan. Kalau bisa freeport ngeruk sebanyak banyaknya dengan pajak serendah rendahnya.
Jadi, pemerintahan Jokowi, berhentilah melakukan kampanye murahan seolah-olah nasionalis. Jurus omong kosong menteri ESDM ini juga harus dihentikan. Omong kosong terlalau banyak akan mempermalukan bangsa dan negara indonesia dihadapan orang luar. Pemerintah juga harus mengakhiri mejual negara, konstitusi dan UU untuk memperkaya diri pribadi dan kelompok.
Penulis: Salamuddin Daeng, AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)
Editor: Ach. Sulaiman