Budaya / SeniKhazanahKreativitas

Menteri Agama Ungkap Tiga Alasan Muktamar Sastra 2018 Penting Digelar

Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sambutan dalam perhelatan Muktamar Sastra 2018. (FOTO: Dok. Kemenag)
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sambutan dalam perhelatan Muktamar Sastra 2018. (FOTO: Dok. Kemenag)

NUSANTARANEWS.CO, Situbondo – Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin hadiri Muktamar Sastra yang pertama di Indonesia yang digelar di Pondok Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Situbondo, 18 – 20 Desember 2018. Dalam pidato pembukaan yang disampaikan, Menag menilai Muktamar Sastra penting dan strategis.

Menag kemukakan setidaknya tiga alasan helatan Muktamar Sastra 2018 menjadi penting di waktu yang tepat (timely). Pertama, kata Menag, pada 9 Desember 2018, Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo menerima naskah Strategi Kebudayaan Indonesia dari Tim perumus Kongres Kebudayaan Indonesia. Naskah tersebut diproyeksikan sebagai usulan rancang bangun visi pemajuan kebudayaan Indonesia 20 tahun ke depan.

“Membicarakan kebudayaan tidak mungkin tanpa mendiskusikan dan merumuskan kontribusi dunia sastra. Membincang kebudayaan Indonesia juga mustahil jika tidak mempertimbangkan sastra Islam pesantren,” kata Menag, dilansir dari laman Kemenag, Kamis (20/12/2018).

Sebab, jelas Menag, pesantren dengan berbagai tradisi keilmuan serta kiprah kyai, ulama, tengku, buya, tuan guru, santri, dan alumninya, telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

“Khazanah sastra pesantren awal, baik yang berbentuk prosa maupun puisi, sering dihubungkan dengan karya sastra sufistis Hamzah Fansuri (w. 1527) dan Syamsuddin al-Sumatra’i (w. 1630) di Aceh, atau Sunan Bonang (w. 1525) dan Sunan Kalijaga di Jawa,” tutur Menag saat menyampaikan pidato pembukaan di Situbondo, Rabu (18/12).

Alasan kedua Menag memandang bahwa Muktamar Sastra 2018 tepat waktu, yakni karena saat ini bangsa Indonesia sedang perlu lebih banyak mengasah rasa. Perkembangan sosial politik, ditambah pesatnya media sosial akibat revolusi industri digital, sedikit banyak telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian dari masyarakat.

Menag melihat ada semacam kegagapan di mana gairah beragama tumbuh sedemikian cepat di satu sisi, namun tidak diiringi dengan keseimbangan nurani, rasa, dan spiritualitas di sisi lain. Seruan beragama yang seharusnya menenteramkan berubah menjadi provokasi. Simbol agama yang seharusnya menggambarkan kesantunan pun berubah menjadi gambaran kegarangan.

“Bangsa Indonesia saat ini sangat membutuhkan asupan pendidikan, bacaan, dan pemahaman yang tidak sekadar hitam putih dalam menafsirkan agama, melainkan pendidikan dan bacaan yang juga menekankan pada rasa, spiritualitas, dan imaji (khayali), yang banyak terdapat dalam media karya sastra,” tutur Menag.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Alasan ketiga, Muktamar Sastra penting karena ada benang merah dan kesinambungan sejumlah peristiwa mutakhir yang menggambarkan adanya keprihatinan sekaligus kepedulian warga masyarakat terhadap masa depan kebudayaan dan kebangsaan. Permufakatan Yogyakarta yang digelar Kemenag pada awal November juga telah menggambarkan kegelisahan kaum agamawan dan budayawan atas menguatnya konservatisme dalam beragama. Pendidikan agama dianggap terlalu mengedepankan aspek-aspek lahir (exoteric) dalam beragama, dan kurang membekali peserta didik dengan pesan-pesan spiritual (esoteric); pendidikan saat ini juga dianggap amat memarginalkan media sastra sebagai alat pembelajaran.

Setelah Permufakatan Yogyakarta, ada Mufakat Budaya Indonesia III dan akhirnya Kongres Kebudayaan Indonesia, yang salah satu semangat utamanya adalah perlunya bersama-sama memberikan kontribusi dalam menjaga persatuan, kesatuan, serta membangun kebangsaan dan keindonesiaan.

“Saya ingin menempatkan perhelatan Muktamar Sastra ini juga dalam konteks keprihatinan terhadap surutnya kualitas relasi agama dan budaya kita, serta sekaligus sebagai bentuk kepedulian kita, warga pesantren, untuk memberikan kontribusi kebangsaan dari perspektif dunia sastra,” ucapnya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,154
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand