NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden pertama RI, Soekarno pernah menyebut kelompok yang berniat menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan sebutan komprador. Istilah komprador ini jarang digunakan dalam perbincangan sehari-hari. Namun, ada sebagian kalangan yang mencoba untuk mengulang kembali istilah yang pernah diucapkan Bung Karno itu.
Ambil contoh misalnya, Prabowo Subianto mendefinisikan komprador sebagai anak bangsa yang rela dan tega menjual kepentingan bangsa dan rakyatnya demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Prabowo sendiri sering menggunakan istilah komprador di beberapa kesempatan dalam pidatonya.
Terlepas dari itu, tentu saja kata komprdor mengingatkan kita pada sosok Soekarno. Dulu istilah komprador bermakna bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan asing (perwakilan asing) dalam hubungannya di tengah-tengah masyarakat pribumi.
Meski istilah komprador mulai bergeser ke ranah politik, tetap saja komprador merupakan gerombolan orang yang berniat menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran.
Baca: Para Komprador Terus Mainkan Politik Adu Domba di Tanah Air
Mirisnya, para komprador belakangan ini mulai tampak menang. Munculnya konflik dan pertikaian antar sesama anak bangsa hanya karena beda pandangan, pilihan dan kepentingan semakin menguat. Sikap fanatisme berlebihan juga menjadi biang keladi terjadinya konflik horizontal di tanah air.
Pertanyaannya, benarkah kita sudah termakan politik adu domba?
Ketua Pembina Yayasan Pembina Pendidikan Universitas Pancasila (YPPUP), Siswono Yudo Husodo dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa berkembangnya etnosentrisme dan primordialisme sempit serta fanatisme golongan berpotensi menjerumuskan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran. Siswono mencurigai adanya upaya melemahkan NKRI dari sejumlah aksi bentrok di dalam negeri.
“Saya curiga, berbagai bentrok di dalam negeri yang terjadi belakangan ini adalah upaya melemahkan negara kita, merupakan rekayasa dari luar yang ingin kita menjadi lemah dengan memanfaatkan emosi primordial agama dan suku yang ada,” kata dia.
Selain itu, bagi Indonesia, yang sangat heterogen baik dalam konteks suku dan agama, harus dimengerti bahwa ada potensi besar terjadinya friksi internal. Dan karena letak geografis kita, berpotensi pula ada friksi dengan pihak eksternal karena perbedaan kepentingan.
Konflik dan pertikaian internal paling mencolok belakangan adalah momentum Pilgub DKI Jakarta 2017. Bermula dari situ, isu-isu sensitif seperti SARA terendus oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Mirisnya, hingga kini aroma dendam atas hasil Pilgub DKI Jakarta justru semakin merebak bukan malah padam. Semacam ada upaya balas dendam karena tidak terima dengan sistem yang dibuat berdasarkan konsesus bersama, demokrasi one man one vote.
Baca juga: Siapa Perecok Bangsa Kita?
Aroma balas dendam ini semakin menguat. Ambil contoh misalnya tokoh-tokoh anti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikriminalisasi supaya segera menyusul Ahok ke penjara biar terasa adil karena telah berjuang menumbangkan Ahok di Pilkada Jakarta.
Sementara pihak yang merasa dikriminalisasi juga mati-matin membela diri di tengah menguatnya desakan dan tekanan. Aksi saling bela diri sah. Tetapi bila hal itu didasari sikap fanatisme berlebihan niscaya akan menjadi jaminan akan tetap berlangsungnya konflik di Indonesia. Yang jelas, balas dendam mengingatkan kita pada gerakan PKI di masa lalu!
Artinya, rasa sebangsa dan setanah air masih sebatas retorika. Tantangannya berat karena rivalnya adalah bangsa sendiri. Hal ini pernah disinyalir Bung Karno, bahwa musuh bangsa Indonesia di masa kini adalah saudara sendiri. Sehingga terasa lengkap, bahwa perecok bangsa ini datang dari dua sisi; asing secara langsung dan asing secara tidak langsung (komprador). Mereka memanfaatkan kemajemukan Indonesia sebagai proxy war untuk memecah-belah persatuan dan rasa kebangsaan masyarakat. Dalam bahasa teori konspirasi, ketika sebuah negara yang majemuk telah dipecah-pecah menjadi kelompok kecil, maka mereka akan mudah dikuasai karena musuh sejatinya penjajahan adalah persatuan, kebersamaan dan gotong-royong.
“Sebagai bangsa yang heterogen, setiap anak bangsa perlu sadar untuk tidak mudah terpancing, karena banyak kepentingan lain yang tidak menginginkan kita menjadi negara yang makmur dan kuat,” kata Siswono.
Baca juga: Warning! Waspadai 6 Ancaman Kebangsaan Ini
Bahkan, Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Muhadjir Darwin menyebut salah satu ancaman Indonesia saat ini ialah ancaman dari praktik-praktik fanatisme, radikalisme suku dan keagamaan serta ancaman karena negara dinilai memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada negara lain.
Untuk itu, masyarakat harus mulai disadarkan bahwa bangsa Indonesia kini tengah diadu-domba agar terpecah-belah. (ed)
Editor: Eriec Dieda