Setahun yang silam, Pengadilan Arbitrase Permanen PBB atau Permanent Court of Arbitration (PCA) memutuskan bahwa Filipina memenangkan klaim atas wilayah yang disengketakan dengan Tiongkok di Laut China Selatan (LCS). PCA menyatakan bahwa “Negeri Mao Zedong” tersebut tidak memiliki dasar hukum atas klaim di perairan LCS. Alih-alih menerima, Tiongkok berang dengan keputusan badan PBB yang bermarkas di Den Haag Belanda itu. Tiongkokpun mengumumkan langkah patroli pesawat tempur secara reguler sebagai upaya penerapan Zona Identifikasi Pertahanan Udara. Tiongkok juga memperingatkan para seterunya untuk tidak menjadikan wilayah sengketa sebagai medan tempur.
Mungkin ada benarnya petuah Deng Xiaoping, bapak reformasi Tiongkok, “sudahkah anda pergi ke laut?” yang dimaknai oleh anak cucunya sebagai “sudahkan anda mencari uang?”. Petuah ini ditafsirkan sebagai titah sehingga tak afdol rasanya pertumbuhan ekonomi dua digit dicapai tanpa melakukan penaklukan terhadap wilayah perairan bernilai ekonomis tinggi di dunia. Patut dicatat, Tiongkok tak hanya mengobar bara di LCS. Di Laut Cina Timur (LCT), Tiongkok bertikai dengan Jepang, musuh bebuyutan mereka. Secara sepihak Tiongkok mengeluarkan deklarasi tentang Zona Pertahanan Udara pada 23 November 2013 yang mewajibkan semua pesawat yang melintasi LCT harus meminta izin terlebih dahulu.
Geliat “Naga dari Timur” ini yang cenderung memilih aksi-aksi konfliktual dengan negara lain dapat dimaknai sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi diri di panggung internasional. Sikap Tiongkok ini juga dapat ditafsirkan sebagai perilaku normal dari sebuah negara yang memiliki konfidensi tinggi untuk menaklukkan dunia. Tidak hanya berkonfrontasi secara langsung, Tiongkok juga bermain peran sebagai “induk semang” bagi Korea Utara yang kerap melakukan uji coba nuklir dan memantik konflik dengan Korea Selatan dan Jepang.
Sadar bahwa kapasitas sebesar apapun tak akan berarti jika bertarung sendirian menghadapi banyak musuh, Tiongkok tak segan menggandeng Rusia sebagai aliansi. Kedekatan secara ideologis di masa lampau serta adagium “musuh dari musuhku adalah temanku” menempatkan Rusia sebagai mitra strategik bagi Tiongkok. Aliansi dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO) serta rencana latihan militer bersama di LCS bulan November mendatang menjadi bukti sahih.
Baca juga:
- Cina Mulai Memperkuat Armada Angkatan Laut Selatannya
- Menlu China Sebut Putusan PCA Ultimatum Perang
- Selain Desak non-Militerisasi, ASEAN akan Pantau Aktivitas Maritim Cina di LCS
- Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia
- Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia
- Foley Hoag LLP: Putusan PCA Berdampak pada Indonesia
- Stabilitas Asia Dalam Bayang-bayang Ambisi Global Cina
Kepercayaan diri tinggi yang dimiliki Tiongkok bukanlah tak berdasar. Dalam keyakinan komunisme, pilar kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh faktor ekonomi sebagai super struktur dasar. Semakin kuat ekonomi negara dibangun sebagai pilar, maka semakin kuat pula hal-hal yang ditopang di atasnya, baik itu politik, sosial dan budaya, hingga aspek pertahanan dan keamanan. Praktik komunisme ini tak kaku. Seturut titah sang bapak negara, Deng Xiaoping, empat dekade silam, “tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”, Tiongkok tak segan mempraktikkan liberalisme dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi melejit hingga dua digit. Tiongkok juga tercatat sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia dengan penguasaan sejumlah US$ 3,95 triliun, jauh melampaui Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara besar Eropa.
Dalam Studi Hubungan Internasional, kaum neo-realis menyatakan bahwa struktur sistem internasional bersifat anarkis dan konfliktual. Setiap negara berlomba-lomba untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing. Tak jarang dalam mencapai kepentingan tersebut, satu negara tak segan bertikai dengan negara lain, apalagi kalkulasi kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki menunjukkan bahwa mereka cukup mampu menaklukkan negara lain tersebut. Inilah yang menjadi keyakinan para pemangku kebijakan di Tiongkok. Mimpi menjadi negara adidaya nan pilih tanding hanya bisa dicapai apabila mereka menguasai lautan sebagai jantung dunia. Di dalam lautanlah sumber kekayaan alam tak ternilai berupa minyak bumi dan gas alam terkandung.
Tiongkok juga tak sungkan menerapkan prinsip kaum realis klasik bahwa perdamaian adalah suatu hal yang mustahil tercapai. Negara diibaratkan bak manusia yang cenderung memangsa sesama (homo homini lupus) dan selalu didorong oleh nafsu untuk mendominasi (animus dominandi). Masa selain perang adalah masa bersiap untuk perang. Oleh sebab itu, pembangunan kapasitas dan kapabilitas militer dan intelijen menjadi rumus baku. Inilah yang menjadi sandaran bagi Tiongkok untuk menaikkan anggaran pertahanan dari tahun ke tahun. Sikap yang galib dimiliki oleh sebuah negeri yang selalu merasa tak aman. Lantas bagaimana sikap Tiongkok ini dipandang dalam tata hubungan antarnegara?
Peningkatan kapasitas militer secara intensif dan berkelanjutan serta pemilihan langkah konfliktual di LCS dan LCT menjadi dilema keamanan bagi banyak negara, bukan hanya negara-negara yang berkonfrontasi langsung saja dengan Tiongkok, tapi juga negara-negara lain yang memimpikan tata dunia yang adil dan damai. Tragedi pilu Perang Dunia I dan II selaiknya menjadi pembelajaran penting bahwa perang hanya membawa kemudaratan, entah itu ketika tampil sebagai pemenang atau pecundang. Harta, nyawa, dan darah tumpah sia-sia. Fakta inilah yang mendorong banyak negara besar dunia untuk bekerja sama dalam berbagai bentuk organisasi regional dan global, serta mengedepankan diplomasi berbasis ekonomi yang cenderung lunak dan tidak konfliktual. Tata politik duniapun sejatinya telah bergeser pasca runtuhnya Uni Soviet, tembok Berlin, dan arus globalisasi masif yang melanda dunia. Sistem internasional menjadi lebih cair, multipolar, dan ramai dengan semakin kuatnya eksistensi aktor-aktor non-negara. Langkah Tiongkok mengobar bara bak melawan arus zaman di mana perang tak lagi relevan dilakukan secara head to head, tapi dilakukan tanpa wujud (proxy war).
Kebangkitan Tiongkok tentu tak adil apabila dipandang negatif hanya dari satu sisi. Realitas hubungan antarnegara tak bisa ditafsir secara tunggal, selalu ada oposisi biner. Realitas tak hanya dibaca secara ekplisit, tapi perlu dibaca secara implisit. Melalui geliatnya yang gesit, “Naga dari Timur” ini hendak menyampaikan pesan bahwa tata dunia yang baru perlu dibentuk dengan Tiongkok sebagai pemimpin.
Selama dua abad bangsa-bangsa Asia hanya duduk di bangku penonton menyaksikan dominasi dan keangkuhan Amerika dan Eropa dalam menguasai panggung politik, sistem perdagangan, dan produksi pengetahuan bangsa-bangsa di dunia. Selama itu pula bangsa-bangsa Asia, meskipun tak seluruhnya, mengalami pemiskinan dan pembodohan struktural sehingga hanya menjadi pangsa pasar dan pemamah yang konsumtif akan produk-produk Amerika dan Eropa. Eksistensi lembaga-lembaga dunia juga tak lebih sekedar badut yang hanya menguntungkan dua kekuatan besar tersebut. Entahlah, mungkin benar yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban yang masyhur itu, khususnya benturan peradaban antara Barat dan Timur. Benturan itu pulalah yang mungkin menyeret bandul adikuasa tidak lagi berpihak kepada Barat, melainkan Tiongkok sebagai representasi suara, sikap, dan pandangan bangsa-bangsa Timur. Wallahualam bis Shawab.
Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, pemerhati isu-isu internasional