Oleh: Khairil Akbar*
Setelah lama mati suri, tiba-tiba jagad raya Indonesia dikejutkan dengan penerimaan CPNS di lingkungan Mahkamah Agung dan Kemenkumham. Sontak berita ini disambut baik oleh para pencari kerja, terlebih bagi mereka yang memang sudah menyiapkan diri untuk lowongan yang dibuka itu. Ketika pendaftaran di dua lembaga negara ini ditutup, penerimaan besar-besaran malah terjadi di beberapa lembaga negara lainnya. Lembaga, Badan, bahkan Kementerian nyatanya membutuhkan begitu banyak pekerja. Hal ini menunjukkan satu hal kepada kita, bahwa selama ini jumlah tenaga kerja masih sangat kurang, sedangkan pengangguran sangat tinggi angkanya. Sungguh, ini adalah kenyataan yang sulit diterima oleh akal sehat kita.
Namun, di sini bukan perkara itu yang hendak dipersoalkan, melainkan masalah lain yang lebih subtansial. Setelah membaca dan menelusuri lebih jauh beberapa ketentuan dari lowongan pekerjaan yang dibutuhkan, ada satu mental yang belum berubah sama sekali dalam sistem rekrutmen kita. Tentu hal ini patut dipertanyakan di era pemerintahan yang slogannya justru menggembar-gemborkan “Revolusi Mental”. Mental yang penulis maksud ialah mental ingin menang sendiri, takut bersaing yang akhirnya main cekal, dan mental diskriminatif. Parahnya, diskriminasi yang penulis maksud terindikasi menabrak prinsip atau nilai-nilai dasar bangsa Indonesia, serta adanya muatan SARA di sana. Itu sebabnya, judul tulisan ini menggunakan kata “mendamba” dengan maksud bahwa hal yang didamba itu nyatanya tidak atau belum ada wujudnya.
Contoh terdekat adalah rekrutmen Hakim dan CPNS di Kemenkumham yang telah diumumkan tahapan pertamanya. Untuk Hakim, pola lama di mana lulusan sarjana hukum dapat melamar menjadi Hakim di Peradilan Agama dan Peradilan lainnya, sedangkan lulusan sarja hukum Islam hanya boleh mendaftar menjadi Hakim di Peradilan agama masih dipertahankan. Cacat logika yang terus menjangkit dalam hal ini adalah dibolehkannya lulusan hukum menjadi Hakim di Peradilan Agama dengan alasan asal menguasi hukum Islam, tapi, untuk lulusan syariah atau hukum Islam yang menguasai hukum umum tidak berlaku ketentuan demikian. Artinya, lulusan hukum diuji ketika mengikuti seleksi, sedangkan lulusan syariah/hukum Islam gugur bahkan sebelum mendaftar. Ini sama halnya dengan kalah sebelum bertanding; pecundang.
Baca juga: Penting! Pemerintah Buka Penerimaan CPNS di 60 K/L dan Pemprov Kaltara
Di lingkungan Kemenkumham, menjadi analis hukum hanya adalah lulusan hukum, sedangkan analis HAM boleh diisi oleh lulusan sospol maupun hukum. Lagi-lagi, lulusan syariah/hukum Islam—yang lebih dekat dengan hukum—kembali dikadali. Bahkan semua orang pasti tahu bahwa syariah/hukum Islam selalu ada pembahasan HAM di sana. Isu HAM bahkan lebih tajam diulas dan menjadi mata kuliah tersendiri di Fakultas Syariah dan Hukum. Ketidakadilan struktural akan semakin terasa bila kita melihat betapa lulusan cumlaude diberi slot khusus yag jumlahnya lumayan banyak, sedangkan pesaingnya lebih sedikit. Selain tidak ada jaminan bahwa lulusan cumlaude lebih baik dari lulusan biasa, cumlaude di sini juga dibatasi oleh ketentuan bahwa yang bersangkutan harus lulus dari Jurusan yang terakreditasi A. Ini sama saja dengan menghukum seseorang atas kesalahan orang lain. Parahnya, kesalahan itu justru dilakukan oleh penerima pekerja itu sendiri; Pemerintah.
Kita pahami bahwa akreditasi itu bukan tanggung jawab Mahasiswa, sekalipun Mahasiswa yang berprestasi akan menunjang akreditasi Jurusan. Karena hal itu, maka tidak sepatutnya Mahasiswa menerima perlakuan yang tidak adil akibat dari ulah Jurusannya. Masalahnya lagi adalah, Jurusan yang baru dibuka tidak akan pernah berakreditasi A di tahun-tahun pertama. Sehingga, celakalah bagi mereka-mereka yang menjadi Mahasiswa pada Jurusan baru atau yang belum berakreditasi A. Andai kata tolak ukur akreditasi disesuaikan dengan keadaan kampus masing-masing, mungkin syarat akreditasi dapat diterima karena ianya mengacu pada semangat kompetisi. Tapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa akreditasi itu punya standar tersendiri di mana semua kampus harus mengikuti standar itu. Hasilnya, kampus baru atau kampus lama sekalipun—yang kurang mendapat kucuran dana dan lainnya—tidak akan berakreditasi A. Akreditasi di negeri ini lebih tergantung pada realita, bukan pada usaha kampus dalam membenahi dirinya.
Hal ini berbeda dengan Finlandia yang menganggap semua sekolah adalah sama. Siapa saja punya peluang yang sama dengan orang lainnya dan dari sekolah lainnya. Sedangkan di Indonesia, sekolah dengan perhatian lebih dari pemerintah, sekolah di perkotaan misalnya, tentu akan lebih unggul dibanding sekolah yang kurang diperhatikan. Jika dianalogikan, tim sepakbola yang diberi fasilatas hampir lengkap diuji dengan tim yang mungkin hanya punya bola. Syukur-syukur kedua tim ini dapat bertanding dan dilihat siapa yang layak, tapi sistem rekrutmen kita justru menggugurkan tim yang tidak mencapai standar kualifikasi fasilitas. Padahal, fasilitas itu sendiri berasal dari pemerintah yang mengadakan rekrutmen tadi.
Simak: Rekrutmen CPNS untuk 380 Formasi di Kemenperin Masih Buka
Ketidakadilan berikutnya berkaitan dengan gelar yang dipandang tidak sama antara satu jurusan dengan jurusan lainnya. Hal ini hanya karena yang satu ada imbuhan “Islam” sedangkan yang satunya tanpa kata “Islam”. Setelah dihapus imbuhan itu, ternyata tidak merubah keadaan. Ketidakadilan tetap terjadi dan yang demikianlah yang penulis pandang sebagai SARA. Kita ambil contoh lain, yaitu rekrutmen Jaksa. Di sana diterangkan bahwa untuk menjadi jaksa harus minimal sarjana hukum. Busyri Arief menerangkan bahwa lulusan syariah jika ingin menjadi Jaksa harus dibekali dengan ilmu hukum umum (hukumonline.com, 2015). Pertanyaannya, apakah Fakultas Syariah tidak membekali Mahasiswanya dengan hukum umum? Nyatanya ada. Jikapun tidak ada, seharusnya ada lembaga yang kemudian menjawab tuntutan Jaksa terhadap lulusan Syariah. Masalahnya lagi, lulusan S2 Hukum, jika S1nya syariah, tetap dianggap tidak terkualifikasi. Lucu kan?
Lulusan Fakultas Syariah sebenarnya lebih terfokus karena sudah menjurus sejak awal. Sementara itu, lulusan Fakultas Hukum bisa masuk ke mana-mana dengan ilmu yang serba nanggung, terlebih penguasaan mereka terhadap hukum Islam. Intinya, lulusan Fakultas Syariah Jurusan Jinayah misalnya, tentu akan menguasai hukum pidana Islam di satu sisi, dan hukum pidana umum di sisi lain. Artinya, penguasaan mereka terhadap hukum pidana tentu lebih kuat dari sisi kurikulum, sebab ianya hanya terbagi dua; Islam dan umum. Adapun lulusan Fakultas Hukum, mereka dibebani semua bidang hukum: pidana, perdata, keluarga, ekonomi, tatanegara, administrasi, dan tidak terkecuali hukum Islam. Mereka hanya menjurus di akhir-akhir semester dengan sks yang amat terbatas. Kritik ini masih mengikuti cara pandang bahwa ilmu itu terdikotomi. Itu artinya, dengan cara pandang kekinian, bahwa ilmu itu terintegrasi, maka akan semakin jelas ketidakadilan rekrutmen itu terlihat. Itu sebabnya, kita patut mendamba rekrutmen yang berkeadilan agar ianya tidak sekadar menjadi dambaan (mimpi). Dan, tulisan ini tentu belum sama sekali cukup menggambarkan betapa tidak adilnya rekrutmen saat ini.
*) Penulis adalah lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Aceh dan merupakan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.