Pasca keputusan Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan iklim Paris 2015 semakin memperjelas perbedaan kepentingan antara AS dan Uni Eropa. Bukan itu saja, perubahan kebijakan luar negeri AS secara langsung telah mengguncang tatanan internasional yang berdampak pada stabilitas dalam NATO, WTO, G7, PBB dan NAFTA.
Presiden Donald Trump pada awal bulan (1/6) mengumumkan bahwa negerinya mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015. Peristiwa ini mungkin menjadi momen bersejarah paling penting dalam kebijakan luar negeri AS sejak akhir Perang Dunia Kedua. Trump menarik diri dari kesepakatan iklim Paris dengan alasan ketidaksenangannya bahwa AS dipaksa untuk memberikan kontribusi yang tidak proporsional dalam perang global melawan perubahan iklim.
Penarikan Trump terhadap kesepakatan Paris jelas merupakan simbol dari kebijakan luar negerinya yang ingin melepaskan kepemimpinan global AS serta penolakannya untuk mengorganisir kerja sama global – sebuah peran yang telah dimainkan AS sejak akhir Perang Dunia Kedua dalam melindungi kepentingan nasional dan sekutunya.
“America First” Trump tampaknya bertujuan menggeser peran AS sebagai negara adidaya global menuju kebijakan luar negeri yang lebih transaksional. Trump tidak melihat keuntungan kebijakan luar negeri yang tetap melestarikan kepemimpinan global AS di muka bumi.
Jadi pesannya jelas bahwa Washington tidak ingin lagi mengatur agenda global, seperti yang sudah-sudah selama tujuh dekade terakhir. AS tidak mau mengambil tanggung jawab lebih besar untuk mendorong kerja sama global melawan tantangan global.
Tidak ada yang mengisyaratkan pergeseran kekuatan global yang akan datang lebih banyak selain reaksi China terhadap penarikan sepihak Washington awal bulan lalu. Menjelang pengumuman Trump, kementerian luar negeri China mengatakan, “perubahan iklim adalah tantangan global” bahkan dengan tegas Beijing menyatakan akan menindaklanjuti komitmennya sendiri berdasarkan kesepakatan tersebut.
Dinamika tersebut berlanjut dalam KTT Uni Eropa-China di Brussel, sehari setelah Trump mengumumkan penarikan diri AS dari kesepakatan Iklim Paris 2015. Perdana Menteri China Li Keqiang membuat komitmen dalam sebuah pernyataan bersama Uni Eropa dan China yang menegaskan bahwa perubahan iklim dan energi bersih akan menjadi pilar utama hubungan bilateral mereka.
Meski begitu, hubungan bilateral tersebut tampaknya lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan, terutama bila terkait kompatibilitas sistem ekonomi serta isu-isu hak azasi manusia.
Sementara Amerika di bawah kepemimpinan Trump tampaknya akan lebih memproteksi diri terhadap arus globalisasi gelombang ketiga yang tengah melanda dunia. Dalam situasi batas yang penuh ketidakpastian – sikap proteksionisme Trump tampaknya hanya akan menyelamatkan tatanan neolib yang sudah diujung tanduk. Bila kemudian tatanan tersebut hancur maka bisa saja berdampak domino terhadap pranata sosial-politiknya. Dengan kata lain, secara kasar Trump telah mempercepat runtuhnya Pax Americana yang telah berlangsung sejak akhir Perang Dunia Kedua.
Dunia kini membutuhkan sebuah tatanan internasional baru yang lebih baik. Sebuah modifikasi tatanan dunia baru dengan seperangkat aktor guna mengatur agenda global dan mengorganisir kerjasama multilateral yang lebih adil.
Dunia juga harus siap bila kepemimpinan AS berakhir, terutama Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan yang menjadi kuat dan makmur di bawah perlindungan AS. Tapi sejak krisis 2007-2008 yang menimpa AS, kepemimpinan Presiden Barack Obama terlihat “menghindari beban kepemimpinan dunia,” dan Obama jujur tentang itu. Obama terpilih untuk fokus pada “pembangunan di rumah” dan bukan melayani sebagai “Polisi Dunia.” Sebagaimana tergambar dalam kebijakan luar negerinya yang bergeser ke Asia Pasifik dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang mengakibatkan kawasan Timur Tengah seakan terbengkalai. Sehingga Cina yang netral kemudian masuk dengan segala risikonya menggantikan posisi AS dan Rusia yang sudah terjebak dalam polarisasi konflik kawasan.
Tidak ada keraguan bahwa Rusia dan China memang mendapatkan keuntungan, setidaknya dalam jangka pendek sebagai konsekuensi logis runtuhnya Pax Americana. Hal itu terlihat ketika Rusia menginvasi Ukraina timur dan menganeksasi Crimea pada tahun 2014, NATO tidak berdaya untuk menghentikannya, karena Obama memang tidak memiliki keberanian dan kecenderungan untuk memimpin NATO melawan Rusia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Kanselir Jerman Angela Merkel setelah bertemu dengan Trump dan pemimpin G7 – menyatakan dengan tegas bahwa Eropa tidak dapat lagi sepenuhnya mengandalkan orang lain. Sudah waktunya bagi Eropa untuk melakukan reformasi dan berdiri di atas kaki sendiri dan memperjuangkan masa depannya sendiri.***
Penulis: Agus Setiawan / Editor: Achmad Sulaiman