NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 12 Juni 2018 merupakan hari yang bersejarah bagi pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un. Sebab, untuk pertama kalinya pemimpin yang disebut-sebut diktator itu bersedia bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Capella, Pulau Sentosa, Singapura. Pertemuan ini dapat dibilang tak terduga usai keduanya berseteru sepanjang tahun 2017 lalu lantaran polemik program senjata nuklir yang dikembangkan Korut dan Singapura memainkan peranannya sebagai mediator perdamaian.
Waktu itu, Kim tampak kukuh dengan programnya. Sementara, Trump mendesak segera dilakukan pengentian atau denuklirisasi, terutama demi menjaga stabilitas di Semenanjung Korea.
Pengamat pertahanan Susaningtyas Kertopati mengatakan, pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump di Singapura dapat dicermati dari beberapa aspek baik substansi maupun yang bukan substansi. Dari aspek substansi tampak kedua belah pihak menginginkan deskalasi konflik. Keinginan tersebut terwujud pada rumusan 4 butir kesepakatan.
“Kita semua patut bersyukur kedua pemimpin menghendaki hubungan bilateral yang lebih baik antara kedua bangsa dan negara. Keduanya juga sepakat membangun berbagai upaya perdamaian yang lebih konkret. Bahkan Korea Utara juga mau menjalankan semua ketentuan internasional untuk denuklirisasi sebagai bentuk nyata memperoleh kepercayaan dunia internasional,” kata dia melalui pesan singkat, Kamis (14/6).
Menurutnya, kesepakatan tersebut dapat berujung upaya perdamaian yang lebih serius antara Korea Utara dan Korea Selatan. Tidak menutup kemungkinan kedua Korea akan segera menandatangani deklarasi damai mengakhiri status gencatan senjata, dan nantinya berujung reunifikasi keduanya.
Pengamat yang akrab disapa Nuning ini menjelaskan, dari aspek non substansi Indonesia patut menyambut baik pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump sebagai peluang untuk meningkatkan peran sebagai juru damai.
“Peran Singapura sebagai negara mediator pertemuan kedua pemimpin tersebut dapat mendorong Indonesia sebagai juru damai konflik di Afghanistan sebagaimana telah dimulai oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Mengundang semua pihak yang bertikai di Afghanistan termasuk negara-negara tetangga Afghanistan merupakan agenda politik luar negeri yang dapat lebih sistematis. Bahkan Indonesia selain menjadi juru damai konflik Palestina-Israel, juga dapat berperan sebagai juru damai konflik di Laut Cina Selatan,” jelasnya. (red/ed/nn)
Editor: Eriec Dieda