Opini

Menakar Potensi Dan Dampak Kebijakan Penolakan Kenaikan Harga Gas Industri

skk migas, fatar yani, omong kosong, wakil kepala skk migas, nusantaranews
SKK Migas. (Foto: Ilustrasi/Istimewa)

Menakar Potensi dan Dampak Kebijakan Penolakan Kenaikan Harga Gas Industri. Neraca perdagangan Minyak dan Gas Bumi (Migas) Indonesia tak kunjung membaik dan selalu mengalami defisit. Pada bulan Mei 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyampaikan neraca perdagangan sektor non migas yang mengalami surplus sebesar US$ 1,19 miliar atau sejumlah Rp 16,6 triliun, sedangkan sektor migas justru mengalami defisit sebesar US$ 980 juta atau sejumlah Rp 13,72 triliun (kurs dollar Rp 14.000). .

Sementara itu, pada bulan September 2019, nilai ekspor Minyak dan Gas Bumi (Migas) mengalami penurunan sebesar 5,17 persen menjadi US$ 830 juta, dan ekspor non migas US$13,27 miliar atau turun 1,03 persen.

Dari sisi impor migas, hasilnya adalah senilai US$1,59 miliar (setara Rp 22,26 triliun) atau turun dari bulan sebelumnya US$1,63 miliar atau setara Rp 22,82 triliun. Sedangkan impor non migas sejumlah US$12,67 miliar atau naik 1,02 persen dari US$12,54 miliar.

Pemerintah kelihatan tak berdaya atas kondisi defisit migas ini, maka, sebagai salah satu upaya mengatasinya PT. (Persero) Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) telah mengajukan usulan kenaikan harga gas industri kepada Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 1 Oktober 2019, tetapi karena adanya protes dari pihak KADIN, lalu PGN mengundurkannya menjadi per 1 Nopember 2019.

Namun anehnya, Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM juga menolak usulan kenaikan harga gas industri tersebut, padahal menurut data dan informasi kondisi terkini sektor migas Indonesia umumnya dan PGN khususnya.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Pertama, BPS telah mencatatkan, bahwa  defisit neraca perdagangan migas pada bulan September 2019 meningkat 42% menjadi US$ 1,43 miliar dari bulan sebelumnya. Defisit ini merupakan yang ke 55 bulan secara beruntun.

Nilai impor migas Indonesia periode Januari-September 2019 telah mencapai US$ 24,97 miliar atau setara Rp 349,58 triliun, sementara nilai ekspor hanya US$ 14,23 miliar atau setara Rp 199,22 triliun.

Defisit neraca perdagangan migas periode Januari-September 2019 mencapai US$ 10,74 miliar atau setara Rp 150,36 triliun, melonjak 62,74% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 6,5 miliar. Bahkan, defisit neraca perdagangan migas dalam sembilan bulan pertama tahun ini telah melebihi defisit periode Januari-Desember 2018 yang mencapai US$ 8,57 Milyar atau setara Rp 119,98 triliun (US$1 = Rp 14.000)

Kedua, selain itu, adalah terjadinya penurunan laba bersih PGN secara drastis pada Triwulan III Tahun 2019,  yaitu US$129,1 juta atau setara Rp 1,81 Triliun dibanding periode yang sama Tahun 2018 sebesar US$ 244,3 juta atau setara Rp 3,42 triliun. Penurunan laba bersih disebabkan oleh pendapatan usaha yang turun dan juga nilai properti migas yang  turun hingga US$ 44,18 juta, atau terjadi penurunan sebesar 47 persen yang harus segera diatasi oleh jajaran Direksi PGN.

Ketiga, mengacu pada data tersebut,  maka potensi hilangnya laba bersih PGN pada akhir Tahun 2019 atau tutup buku bisa mencapai US$ 172,12 juta atau setara dengan Rp 2,41 triliun dengan rata-rata penurunan per bulan sejumlah US$ 14,34 juta. Artinya, laba bersih PGN berpotensi merosot menjadi US$ 86,1 juta atau setara Rp 1,2 triliun. Permasalahan ini akan membuat jajaran Direksi PGN bisa menjadi subyek yang dipersalahkan secara pihak jika hasil kinerja tersebut menjadi kenyataan, meskipun telah mengajukan usulan aksi korporasi kenaikan harga gas industri tetapi tak dijalankan, adalah sebuah posisi yang dilematis.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Keempat, penolakan kenaikan harga gas industri ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM Nomor 58/2017 tentang Harga Jual Gas Melalui Pipa Pada Kegiataan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang diubah melalui Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2019 telah memberikan peluang untuk itu. Artinya, Plt. Dirjen Migas melanggar ketentuan yang ditetapkannya sendiri.

Kelima, dengan alasan kondisi defisit migas yang dialami saat ini dan penurunan laba bersih yang dibukukan oleh PGN, maka tidak sepatutnya Kementerian ESDM menolak usulan PGN menaikkan harga gas industri yang merupakan sub holding BUMN Migas Pertamina. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yang diterapkan pada produk batu bara seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai penyelesaian menang-menang (win-win solution) dan tak mengorbankan eksistensi PGN sebagai BUMN yang mengemban tanggungjawab pasal 33 UUD 1945, menjadi penyangga keberlanjutan industri energi nasional, terutama dalam memperbaiki kondisi defisit migas, transaksi berjalan dan keuangan negara dengan lebih memihak kepada kepentingan sebahagian kelompok pengusaha.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Keenam, jika koreksi kebijakan tak dilakukan atau harga gas industri tetap tak berubah, maka beban pengeluaran (cost) PGN akan meningkat, dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur gas bumi dengan dana minimal berasal dari utang akan terkendala dalam rangka mencapai sasaran tingkat efisiensi produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang pada saatnya dapat menurunkan harga jual gas ke masyarakat konsumen dan kalangan industri di masa datang.

Dengan menolak kenaikan harga gas industri ini, maka Kementerian ESDM telah menutup peluang salah satu cara untuk mengatasi defisit migas yang dialami oleh Pemerintahan Indonesia, alih-alih dapat mengembangkan industri migas dan energi alternatif yang lebih bersih lingkungan.

Mengantisipasi potensi dan dampak yang akan ditimbulkan atas kebijakan Kementerian ESDM, maka Presiden Joko.Widodo perlu secara cermat dan bijaksana mengambil kebijakan atas usulan kenaikan harga gas industri dalam perspektif yang lebih luas dan tidak mengorbankan kepentingan negara yang dilaksanakan oleh PGN dengan lebih memperhatikan sekelompok pengusaha yang belum tentu juga dengan tidak menaikkan harga gas industri akan membuat lebih baik kondisi korporasi masing-masingnya pada industri tertentu dan memberikan kontribusi signifikan bagi  perekonomian negara.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 3,050