Politik

Mari Teriak Merdeka di Rumah Kemerdekaan Bukan Di Istana Penjajah

Presiden Soekarno saat membaca teks Proklamasi 17 Agustus 1945/Foto Istimewa
Presiden Soekarno saat membaca teks Proklamasi 17 Agustus 1945/Foto Istimewa

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Waketum DPP Gerindra, Arief Poyuono mengajak seluruh anak bangsa untuk memperingati kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-74 di rumah kemerdekaan bangsa bukan di istana penjajah.

“Setiap 17 Agustus pernyataan bahwa Indonesia sudah merdeka atau teks Proklamasi dibacakan kembali di tempat Istana Penjajah Jepang dan Belanda dan dukan di tempat turunnya wahyu Kemerdekaan untuk Bangsa Indonesia,” kata Arief di Jakarta, Sabtu (17/8/2019).

Arief berkata, kemerdekaan adalah berkat dari Tuhan Yang Maha Esa kepada suku-suku, ras-ras, agama-agama dan keyakinan yang merupakan kesatuan Bangsa Indonesia.

“Dan Tuhan jugalah yang memilih serta menetapkan tempat dimana dibacakannya kalimat-kalimat yang menyatakan negara Indonesia sudah berdiri serta Bangsa Indonesia punya sebuah negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat dari penjajahan Jepang dan Belanda,” ujarnya.

“Tuhan jugalah yang sudah menentukan Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati tidak dikerek dan dikibarkan di Istana para penjajah,” imbuhnya.

Baca Juga:  Sumbang Ternak Untuk Modal, Komunitas Pedagang Sapi dan Kambing Dukung Gus Fawait Maju Pilkada Jember

Sementara itu, kata dia, jika disadari kenapa Tuhan tidak menghendaki teks proklamasi tidak dibacakan dan tidak dikibarkannya bendera Pusaka di lapangan Ikada yang sudah direncanakan dan kenapa juga teks proklamasi tidak dibacakan di Istana bekas Gubernur Jendral Hindia Belanda dan Panglima militer Jepang, tetapi Tuhan menetapkan di tempat sebuah rumah di pengangsaan timur no 56 tempat tinggal Bung Karno.

“Maksudnya adalah bahwa Bangsa Indonesia tidak disatukan untuk membentuk negara Indonesia yang merdeka di lapangan atau pun Istana Penjajah. Maksudnya adalah Bangsa Indonesia harus tinggal di satu rumah besar yang tidak ada sekat untuk saling bertemu saling bersatu dan saling menyayangi, sebab jika di lapangan Ikada sangat cair atau cerai-berai dan tidak mudah bersatu,” jelas Arief.

“Sedang jika di Istana pejajah (sekarang Istana Merdeka) maka itu artinya masih tetap dijajah. Dan Kemerdekaan hanya milik kalangan ningrat saja atau pejabat negara, serta Istana adalah simbol pemisahan antara penguasa dan rakyat,” imbuhnya.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Menurut Arief, harusnya rumah tempat wahyu Kemerdekaan turun jadi sebuah tempat yang harus dinamakan Rumah Kemerdekaan Indonesia. Lihat Amerika negara Besar tidak memberikan nama tempat Presiden bekerja Dan tinggal sebagai Istana namun sebagai Rumah yaitu White House.

Dan setiap 17 Agustus, lanjut Arief, harusnya pembacaan teks proklamasi serta pengibaran bendera Merah putih harus dibacakan di jalan pengangasaan timur no 56 seperti awal pertama dibacakannya teks proklamasi dan pengibaran bendera Merah putih.

“Semoga catatan ini membuat Kita sadar kenapa Indonesia yang katanya sudah merdeka namun masyarakatnya belum merdeka dari kemiskinan dan kebodohan,” harapnya.

“Merdeka Merdeka! Kata ini Saya ucapakan seakan Saya berucap di rumah Bung Karno di pengangsaan timur 56 bukan di Istana Penjajah yang lagi merayakan Kemerdekaan Indonesia saat ini,” pungkas Arief. (red/nn)

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,150