OpiniRubrika

Manuver Elektabilitas Menuju Pilpres 2019

Manuver Elektabilitas Menuju Pilpres 2019
Menuju Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. (Foto: Vote Indonesia)

NUSANTARANEWS.CO – PDIP semakin percaya diri memenangkan Jokowi kembali di Pilpres 2019. Dikutip dari survei Litbang Kompas pada Senin (23/4), elektabilitas Presiden Joko Widodo mengalami kenaikan. Sementara elektabilitas Prabowo Subianto yang menjadi penantang terkuat petahana justru mengalami penurunan. Responden yang memilih Jokowi apabila pilpres digelar saat ini mencapai 55,9 persen. Angka itu meningkat dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya, elektabilitas Jokowi masih 46,3 persen. Sementara itu, potensi keterpilihan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto 14,1 persen. Angka ini turun dari hasil survei enam bulan lalu yang merekam angka 18,2 persen.

Elektabilitas Jokowi merangkak naik dan terbang tinggi mengudara. Hal ini menjadi kewaspadaan bagi parpol non pendukung Jokowi jika mau mengusung Prabowo atau kandidat lain untuk mendongkrak elektabilitas mereka. Meningkatnya elektabilitas Jokowi dibuktikan dengan hasil berbagai lembaga survei. Survei Alvara Research Center digelar pada 17 Januari-7 Februari 2018. Hasilnya, sebanyak 46,1 persen responden menyatakan akan memilih Jokowi sebagai presiden jika Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan hari ini. Lembaga survei Indo Barometer yang menggelar jajak pendapat pada 23-30 Januari 2018 pun menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda.

Baca Juga:  Anggaran Pembangunan Tugu Keris Capai 2,1 Miliar, Juhari Anggota DPRD Sumenep Minta Masyarakat Ikut Mengawasi

Di antara 6 nama yang disodorkan, sebanyak 47,5 persen responden memilih Jokowi sebagai presiden. Hasil survei Poltracking Indonesia juga menempatkan elektabilitas Jokowi di urutan puncak. Dari lima kandidat calon presiden (capres) yang ditawarkan, sebanyak 55,9 persen responden memilih Jokowi.

Tak heran bila parpol pendukung Jokowi seperti PDIP sesumbar akan memenangkan kembali pilpres 2019. Mereka mengatakan bahwa isu dan opini miring terhadap Jokowi tak pengaruhi elektabilitasnya. Menurut mereka Jokowi masih ada di hati rakyat Indonesia. Benarkah demikian?

Jokowi perlu berhati-hati. Pasalnya, kebijakan di masa akhir jabatannya semakin tak dimengerti. Keluarnya Perpres TKA, rencana impor dosen, korupsi, kenaikan harga sembako, BBM, dan tarif dasar listrik yang membebani rakyat menjadi bahan pertimbangan bila memilih Jokowi kembali. Utang negara semakin tajam, ketidakpastian hukum, penistaan agama, narkoba hingga miras oplosan juga menjadi catatan hitam selama kepemimpinan Jokowi. Sangat mungkin kasus yang bermunculan selama rezim Jokowi berkuasa menjadikan rakyat tak lagi bersimpati kepada Jokowi.

Penentu Kemenangan Bukan Elektabilitas

Faktor prosentase elektabilitas calon presiden bukanlah penentu utama kemenangan nyata di Pilpres 2019. Kita bisa berkaca pada Pilkada DKI tahun 2012 dan 2017. Paslon yang tak diunggulkan memenangkan konstestasi kala itu. Survei elektabilitas seringkali dijadikan rujukan bagi elite parpol untuk menentukan dan memutuskan siapa paslon yang akan mereka usung dalam kontestasi pemilu. Masyarakat juga tidak perlu terjebak dengan hasil dari berbagai lembaga survei. Sebab, survei elektabilitas sangat mungkin dijadikan alat untuk merekayasa kepentingan subyektif elite parpol. Hasil studi yang dilakukan oleh Mietzner (2009), M. Qodari (2010) dan Trihartono (2014) dalam Wawan Sobari (2016) berkesimpulan bahwa riset opini merupakan bagian integral dari permainan politik elite. Jadi, siapapun bisa melakukan survei tergantung siapa yang berkepentingan. Itulah mengapa hasil survei dari beberapa lembaga terkadang berbeda.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Tandatangani MoU Dengan BP POM Tarakan

Penentu kemenangan tak melulu tentang prosentasi angka. Kebijakan penguasa juga memengaruhi pertimbangan pilihan masyarakat terhadap pemimpin idaman. Kekritisan masyarakat terhadap berbagai kebijakan penguasa yang dzolim menjadi kekhawatiran tersendiri bagi parpol pendukung rezim. Mengapa? Karena tak ada jaminan tingginya elektabilitas petahana ataupun capres alternatif lainnya akan dipilih oleh rakyat sebagai pilihan terbaik. Begitulah dinamika politik. Tak bisa diprediksi, bisa berubah kapan saja, dan mungkin berbalik arah dari prediksi semula.

Ketika menginginkan pemimpin amanah, tak cukup sekedar mengenalnya lewat pencitraan yang dibentuk media. Fakta menunjukkan bahwa citra baik yang dibangun selama kampanye dilupakan tatkala menang. Seperti kacang lupa kulitnya. Hal itu lumrah terjadi dalam politik ala demokrasi. Konsentrasi parpol memenangkan pertarungan berpusat pada suara dan simpati rakyat dibalut dengan program-program yang memikat. Setelah naik pangkat, janji kampanye seperti pepesan kosong. Minim bukti, pelit realisasi.

Berharap pemimpin yang terpilih bersih dari kepentingan tertentu menjadi hal mustahil. Sebab, selalu ada transaksi dan harga yang harus dibayar setelah habis-habisan dalam pertarungan. Kepentingan rakyat menjadi nomor sekian. Demokrasi tanpa politik transaksional hanyalah angan-angan. Rakyat butuh sosok pemimpin yang bersih dari kepentingan tertentu. Tentu bukan dengan demokrasi sebagai jalan berpolitik. Politik bersih bisa diwujudkan tatkala sistem politiknya jauh dari kepentingan manusia. Itulah politik islam. Karena asasnya berasal dari Allah SWT.

Baca Juga:  Pemdes Pragaan Daya Membuat Terobosan Baru: Pengurusan KTP dan KK Kini Bisa Dilakukan di Balai Desa

Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan Peradaban

Related Posts

1 of 3,072