NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pembangunan infrastruktur adalah agenda para penguasa global untuk memperbesar pasar, perdagangan dan keuangan di tengah lesunya kondisi perekonomian dunia. Pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng menyebutnya infrastruktur sebagai agama baru bagi kaum kapitalis dan neoliberalis. Agama baru ini sudah dianut di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, protek infrastruktur Pemerintahan Joko Widodo meliputi sejumlah aspek di antaranya waduk dan irigasi, kilang dan pembangkit listrik, teknologi informasi dan informatika, perumahan, penyediaan air bersih, serta pembangunan sistem air limbah dan tempat pembuangan akhir (TPA). Jika ditotal, keseluruhan mencapai sekitar 245 proyek infrastruktur pemerintah. Semuanya ditarget rampung pada 2019 mendatang untuk ‘tiket’ Jokowi maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2019.
Belakangan, proyek infrastruktur Jokowi yang sangat banyak menjadi perhatian publik negeri. Pasalnya, proyek ambisius Jokowi itu dinilai telah meruntuhkan perekonomian Indonesia secara perlahan-lahan.
“Pembangunan infrastruktur adalah sebuah mega proyek utang global untuk memastikan kekuasaan mereka di seluruh penjuru dunia. Lembaga keuangan global dan negara-negara pemberi utang berlomba-lomba merebut pasar infrastruktur. Dengan demikian, mereka sekaligus bisa mendapatkan pasar utang. Pemberi utang juga sekaligus mendapatkan bagi kelebihan produksi industri mereka,” kata Salamuddin Daeng, Jakarta, Rabu (01/11/2017).
Akibat dari pembangunan proyek infrastruktur Jokowi yang jor-joran, Indonesia akhirnya menyandarkan diri pada utang karena memang tak ada jalan lain. Dan memang tidak ada jalan keluar lain selain utang di tengah pelemahan ekonomi.
“Karena kalau tidak utang, proyek ambisiusnya semua mangkrak. Aset negara disita asing, infrastruktur yang belum jadi akan disita asing,” kata Salamuddin.
Celakanya, pembangunan infrastruktur tidak mempertimbangkan apakah masyarakat membutuhkan atau tidak infrastruktur tersebut. Pemerintah Jokowi telah merancang infrastruktur dengan anggaran Rp 4.500 triliun sampai dengan Rp 5.000 triliun dalam masa pemerintahan tahun 2014-2019. Sumber pendanaannya berasal dari utang APBN, utang BUMN dan investasi asing langsung.
Ia menuturkan, postur RAPBN selama tiga tahun terakhir dirancang sangat ambisius. APBN ambisius tampaknya disengaja agar menciptakan defisit anggaran yang kian melebar, sehingga pemerintah memiliki kesempatan untuk mengambil utang dalam jumlah besar. “Pemerintah tidak peduli keadaan ekonomi sedang melemah, daya beli masyarakat merosot, sehingga kemampuan pembayar pajak menurun,” katanya.
“Defisit APBN 2015 membengkak menjadi 2,8% dari yang direncanakan sebesar 1,9%. Defisit APBN 2017 meningkat menjadi 2,5 % dari 2,35% dari yang direncanakan. Tahun 217 juga demikian, defisit APBN membengkak menjadi 2,92% dari yang direncanakan sebesar 2.41%. Tahun 2017 sesuai angka defisit 2,92% untuk mendapatkan tambahan utang Rp 471 triliun,” tambahnya.
Dalam RAPBNP 2018, pemerintah juga berencana menambah utang dalam jumlah yang relatif sama sekitar Rp 450 sampai dengan Rp 500 triliun. Melebarnya defisit ini dikarenakan pemerintah gagal meraih target penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak.
Tahun 2017 utang pemerintah yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 1.721,69 triliun meningkat sebesar Rp 446,66 triliun. Pada saat pertama kali Jokowi berkuasa SBN hanya sebesar Rp 1.275 triliun. Sementara, utang pemerintah yang bersumber dari luar negeri tahun 2017 sebesar US$ 170.28 miliar atau sebesar Rp 2.298,80 triliun. Utang ini mengalami peningkatan sebesar US 40.6 miliar dolar atau Rp 547,37 triliun.
Dengan demikian, akumulasi utang pemerintah yang berasal dari SBN ditambah utang luar negeri pemerintah telah mencapai Rp 4.020,49 trilun. Utang tersebut bertambah pada era pemerintahan Jokowi sebesar Rp 994,03 triliun. Ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia.
“Sementara, setiap tahun saat ini rata-rata pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 253.5 triliun, cicilan sebesar Rp 65,5 triliun (diambil dari data cicilan 2017), utang jatuh tempo sebesar Rp 390 triliun. Jadi, total kewajiban yang harus dibayar pemerintah adalah Rp 709 triliun setiap tahun. Ini adalah angka yang besar. Nilai ini setara dengan 70% penerimaan pajak setahun. Untuk bisa membayar kewajiban-kewajiban tersebut pemerintah akan terus mengambil utang untuk menjaga keberlangsungan fiskal,” terang Salamuddin lagi. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews