Oleh: Letnan Jenderal Tni (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin
NUSANTARANEWS.CO – Krisis yang dimulai dari Korea pada awal tahun 1997, yang memberi efek domino ke seluruh kawasan Asia telah membuat sejumlah dana sebesar kurang lebih sama dengan US $ 100 miliar keluar dari kawasan ini saat pertengahan tahun 1997. Situasi ini telah membuat nilai aset di pasar Asia jatuh, dan Asia jatuh ke dalam resesi ekonomi.
Keadaan yang terjadi di Asia pada tahun 1997 serupa dengan situasi yang terjadi di negara Amerika Latin, yakni ketika pemerintah Mexico melakukan devaluasi atas mata uang Pesonya dalam tahun 1995, di tengah-tengah banjir investasi dari para investor Amerika.
Krisis di Korea bergulir cepat ke Thailand pada awal tahun 1997. Segera setelah itu ancaman ini dikenal sebagai Tom Yum Effecf, yakni efek berantai dari kepanikan investor. Hal ini segera saja mencemaskan seluruh kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia sebagai negara Asia, dimana investor Jepang mengambil porsi terbesar di dalam investasinya di Asia.
Pada gilirannya situasi ini menjadi krisis regional yang mendorong suatu devaluasi mata uang, akibat jatuhnya nilai mata uang sebagai konsekuensi keluarnya sejumlah dana yang massif dari negara di kawasan tersebut yang diikuti oleh kerusakan pada sistem perbankan.
Serangan Mata Uang
Rangkaian kejadian krisis di Asia pada tahun 1997 tidak langsung menyentuh sistem perekonomian suatu negara. Gejala kerusakan sistem perekonomian hampir selalu dimulai dari suatu serangan atas nilai mata uang suatu negara, dimana serangan tersebut bergulir secara gradual, cepat dan eskalatif, menyebabkan bentuk serangan ini disebut sebagai serangan moneter.
Diawali pada tahun 1997, terjadi skandal Hanbo di Korea. Hanbo, adalah produsen baja nomor dua di Korea, pada tanggal 23 Januari 1997 dinyatakan bangkrut, setelah gagal melunasi hutangnya sebesar US $ 15 juta dari total tunggakan US $ 6 miliar. Hanbo adalah konglomerat no 14 di Korea. Bank Sentral Korea segera menyuntikkan dana sebesar 2,3 miliar. Kejadian ini disebut skandal, karena melibatkan tokoh nasional, Kim Young Sam serta putra keduanya, Kim Hyun Chul.
Skandal Hanbo segera diikuti oleh skandal KIA pada bulanbulan berikutnya (KIA adalah industri otomotif yang menurut rencana akan menjadi basis mobil mandiri untuk Indonesia). Skandal di Korea segera saja melemahkan nilai Won. Apabila ditelusuri secara cermat, maka kejatuhan nilai Won disebabkan oleh investor (investor Jepang cukup dominan) yang menarik dana jangka pendeknya (modal kerja) yang biasa selalu diperpanjang apabila jatuh tempo.
Dampak akhir dari krisis Korea justru tidak di dalam sistem keuangannya tapi pada sektor industri. Bantuan IMF secara nyata berkorelasi kepada kepentingan Jepang sebagai salah satu negara kontributor terbesar IMF. Justru syarat utama dari bantuan IMF, di samping mengganti pemerintahan, adalah tekanan agar industri Korea lebih terbuka kepada pemilikan asing.
Deregulasi di bidang industri, terutama industri otomotif inilah yang menyebabkan sistem pengendalian pangsa pasar Korea tidak sepenuhnya di tangan konglomerasi Korea. Di Thailand, pada pertengahan Mei 1997, mata uang Baht dihantam spekulan. Para “dealer” mata uang (biasa disebut “Chartisf ”) ramai-ramai menjual Baht, dan membeli US Dollar.
Gerakan Rush Money
lsu devaluasi yang ditiupkan oleh spekulan dan dieskalasi besarbesaran oleh media massa telah membuat rush terhadap US Dollar (terjadi pembelian besar-besaran Dollar di dalam negeri). Dalam kaitan krisis di Thailand, istilah “issue” mengemuka karena saat terjadinya rush tersebut, tidak terdapat indikator yang signifikan yang harus membuat para investor menarik dananya dari Thailand.
Di Thailand program bantuan dari IMF mensyaratkan lebih dahulu penutupan 16 lembaga keuangannya pada 27 Juni 1997. Penutupan ini menimbulkan dampak berantai dan segera melemahkan sistem perbankannya. Nuansa kepentingan Jepang sangat tampak pada saat Thailand memperoleh US Dollar 3,9 miliar dana bantuan IMF pada tanggal 20 Agustus 1997 yang dikenal sebagai Paket Tokyo.
Negara berikut yang terkena dampak krisis di Thailand selain Indonesia adalah Philipina. Tingginya tingkat pinjaman perbankan ke sektor real estate memicu kekhawatiran terjadinya krisis serupa yang segera saja menyebabkan penarikan dana jangka pendek keluar Philipina. Jatuhnya nilai Peso terhadap US Dollar pada awal Juli 1997 menandai proses jatuhnya nilai mata uang tersebut pada bulan-bulan berikutnya.
Hampir bersamaan dengan Philipina, maka Malaysia pun pada pertengahan Juli terkena krisis mata uang yang terus melemah sampai ditetapkan suatu langkah drastis oleh pemerintah Malaysia untuk membatasi transaksi mata uang Ringgit serta mematok Ringgit pada kisaran MYR 3,80/US Dollar. Situasi yang terbalik terjadi di Cina. Negara yang tidak memperdagangkan mata uangnya di pasaran dunia dianggap memiliki sistem perekonomian dan moneter yang relatif stabil.
Dalam situasi demikian, maka dana global yang bergerak mencari tempat baru, segera menyerbu ke Cina. Dampaknya segera terlihat. Krisis Korea yang diakumulasi oleh krisis berbagai negara di kawasan Asia telah menyebabkan sejumlah besar valuta asing memasuki Cina, akibatnya mata uang Cina Yuan segera mengalami penguatan yang sangat signifikan sepanjang tahun 1997.
Di satu pihak akibat positifnya adalah meningkatnya investasi di Cina, namun di lain pihak menguatnya nilai Yuan dalam perdagangan internasional telah menyebabkan melemahnya daya saing ekspor hasil industri Cina. Hal inilah yang menyebabkan pada akhir 1997, pemerintah Cina memberi sinyal untuk mendevaluasi mata uang Yuannya. Hasilnya luar biasa. Kekhawatiran negara raksasa Dollar Amerika dan Jepang akan banjir ekspor hasil industri Cina yang menjadi murah, menyebabkan nilai Yuan segera stabil sepanjang tahun 1998. []