KPK Temukan Rp16 Trilliun Kerugian Negara Dari Sektor Energi

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo/Foto : Fadiilah / Nusantaranews

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo/Foto : Fadiilah/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‎mengungkap potensi kerugian negara atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari bisnis pengerukan batubara dan mineral di Indonesia US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 16,25 triliun. Pengusaha minerba tercatat kurang bayar kewajiban setoran royalti dan iuran tetap kepada negara.

Hal ini disampaikan Ketua KPK, Agus Rahardjo‎ dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (26/10/2016). ‎

Menurut Agus, ada potensi hilangnya PNBP dari sektor minerba berdasarkan perhitungan yang menggunakan data Laporan Surveyor (hasil kajian KPK).

“Hilang PNBP dari batubara kurang bayar US$ 1,22 miliar (2010-2012) dan mineral ‎kurang bayar US$ 24,66 juta (2011),” ujar Agus.

Karena itu, total potensi kerugian negara dari kehilangan PNBP di sektor minerba ‎mencapai US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 16,25 triliun (kurs Rp 13 ribu per dolar Amerika Serikat).

Agus menjelaskan, adapun piutang PNBP di sektor minerba terdiri dari, pertama, Izin Usaha Pertambangan (IUP) piutang sepanjang 2011 hingga 2013 karena ekspor diperbolehkan dulu senilai Rp 3,8 triliun. Kedua, Kontrak Karya dengan piutang Rp 280,07 miliar piutang sepanjang 2011 hingga 2013 karena ekspor diperbolehkan lebih dulu.

Ketiga, piutang dari Perjanjian karya pengusahaan pertambangan (PKP2B) sebesar Rp 22,15 triliun atau DHPB alias Dana hasil produksi batubara 2008-2012 offset dengan Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan sebagainya menjadi hanya Rp 2 triliun.

“Jadi total piutang PNBP dari minerba Rp 26,23 triliun,” tegas Agus.

Jika dihitung, potensi kerugian negara Rp 16,25 triliun ditambah dengan total piutang PNBP di sektor minerba, mencapai Rp 42,48 triliun.

“Nah ini yang kami monitoring, melakukan kajian terhadap kebijakan pemerintah. Hasilnya kita berikan kepada lembaga/kementerian terkait. Kalau tidak diindahkan sebenarnya KPK bisa melaporkan ke Presiden, BPK paling tidak DPR. Masukan kami direspons tapi kurang cepat saja,” ucap Agus. (Andika)

Exit mobile version