NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Setara Institute, Hendardi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK sebaiknya agar menahan diri dan tidak saling adu kuasa agar tidak semakin memanaskan suasana.
“Baik KPK maupun Pansus Angket sebaiknya menahan diri untuk tidak saling adu kuasa,” ujar Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (7/9/2017).
Menurut dia, kondisi saat ini tidak lepas dari dinamika kinerja Pansus Angket KPK yang menunjukkan asumsi banyak pihak tentang motif sebenarnya dari pembentukan pansus tersebut, yakni menyebar opini destruktif tentang KPK untuk melegitimasi sejumlah langkah perubahan regulasi yang melemahkan KPK.
“Pemanggilan jaksa, hakim dalam proses pengumpulan informasi oleh Pansus Angket DPR, secara eksplisit telah membenturkan organ-organ penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” kata Hendardi.
Suara yang melemahkan KPK, lanjut dia, bukan hanya datang dari Pansus Angket KPK, tetapi juga dari organisasi penegak hukum lainnya. Sangat disesalkan organ-organ tersebut hadir dan terlibat dalam proses politik ‘mengadili’ KPK.
“Rencana pelaporan Ketua KPK Agus Rahardjo atas ucapannya yang berencana mempidanakan anggota Pansus karena dinilai melakukan obstruction of justice, juga telah memperburuk kinerja Pansus Angket KPK di mata publik,” jelas dia.
Meskipun upaya-upaya hukum terkait pelaporan Agus Rahardjo kepada intitusi kepolisian merupakan suatu hak hukum setiap orang, akan tetapi konteks politik yang melatarbelakangi pelaporan yang membuat pelaporan tersebut patut disayangkan.
“Meski Polri sebatas menjalankan prosedur normatif memproses berbagai laporan-laporan masyarakat, episode ketegangan Polri dan KPK bisa saja terjadi. Selain Polri, jaksa dan hakim yang curhat di depan Pansus Angket KPK juga telah memperlebar persoalan,” papar Hendardi.
Jika dalam kerangka Pansus Angket KPK, DPR mengklaim menjalankan fungsi pengawasan, kata Hendardi, maka berbagai opini yang muncul dari organ penegak hukum lain menggambarkan ‘ketidaksukaan’ pada KPK karena kewenangannya yang dianggap luar biasa.
Selain kontroversi yang melekat pada proses pembentukannya, secara politik Pansus Angket KPK sebenarnya sudah kehilangan legitimasi, dengan tidak bulatnya dukungan partai-partai politik. Metodologi kerja yang tidak fokus sebagaimana fungsi angket, yakni pengawasan DPR terhadap organ yang diawasi hanya dalam menjalankan UU bukan “case by case”, menjadikan niat baik DPR justru diragukan banyak pihak.
“Apa relevansi DPR mengunjungi safe house KPK, memanggil pelapor Novel Baswedan dalam pencurian sarang burung walet? Tambah lagi Pansus Angket yang terkesan melakukan ‘fait accompli’ organ-organ penegak hukum lain untuk satu barisan bersama Pansus Angket KPK dalam melemahkan KPK,” tegas dia.
Dengan metodologi kerja demikian, maka wajar publikasi menilai hasil temuan sementara Panitia Khusus Hak Angket KPK itu tidak menunjukkan kualitas kerja institusi parlemen. Karena disusun dengan tergesa-tergesa, temuan Pansus lebih menyerupai ‘daftar perasaan’ anggota Pansus dibanding sebagai temuan kinerja investigasi lembaga negara.
“Terlepas dari niat baik Pansus Angket yang obsesif memperkuat KPK, 11 temuan yang dirilis pada (21/8) lalu, hanya mengulang pernyataan-pernyataan sejumlah anggota Pansus yang sudah berulang kali disampaikan kepada publik dan dilegitimasi sebagai produk institusi negara,” kata Hendardi.
Niat baik untuk menata dan atau memperkuat KPK sulit mendapat dukungan publik selama DPR tidak menunjukkan dukungan yang sesungguhnya pada KPK. Daripada membuang anggaran negara, sebaiknya Presiden Jokowi segera mendisiplinkan anggota partai koalisinya untuk menghentikan proses lanjutan yang akan dilakukan Pansus Angket.
“Jokowi tidak bisa terus berdiam dengan alasan Pansus Angket adalah domain DPR, karena Jokowi memiliki sumber daya politik untuk menyelamatkan upaya-upaya pelemahan KPK,” tutur Hendardi.
Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Romandhon