NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Muncul nuansa kepanikan dari berbagai pihak terhadap kiprah kepolisian untuk menduduki jabatan pimpinan KPK periode 2019-2023. Baru sampai pada tahap calon pimpinan alias capim, LHKPN sudah mulai dipersoalkan.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane melihat adanya kepanikan sejumlah pihak dengan akan masuknya dua Jenderal Polisi menjadi pimpinan KPK. Salah satunya tampak pada pernyataan internal KPK yang mempermasalahkan enam Capim KPK belum menyerahkan LHKPN.
“Pernyataan ini sangat aneh, mereka kan baru capim dan belum menjadi pimpinan KPK. Jika sudah menjadi pimpinan KPK bolehlah dipermasalahkan. Jika pun sudah menjadi pimpinan KPK, mereka tidak menyerahkan LHKPN sebenarnya tidak ada masalah karena tidak ada sanksi hukumnya. Sebab kententuan LHKPN itu tidak jelas untuk apa, tapi anehnya ada pihak yang mempolitisasinya dan menjadikan LHKPN seperti hantu yang menakutkan,” ujar Neta melalui siaran pers IPW, Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Neta mengingatkan, dulu pernah ada Irjen Taufiequrachman Ruki dan Irjen Bibit Samad Rianto menduduki kursi pimpinan lembaga anti-rasuah. “Bahkan, di era kedua Jenderal Polisi itu, KPK solid,” sebutnya.
Menurut Neta, Taufik Ruki yang merupakan Jenderal Polisi itu boleh dibilang sukses selama memimpin KPK di era pertama. Bahka, saat menjabat pimpinan KPK Jenderal Polisi ini tak sungkan meringkus koleganya sesama polisi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu juga dengan Irjen Bibit Samad Riyanto di mana hingga saat ini masih terus aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi meski sudah tidak di KPK lagi. Bibit, kata Neta, mendirikan Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi alias GMPK.
Neta mengaku heran ada internal KPK yang tampak alergi dengan akan masuknya Jenderal Polisi untuk menduduki jabatan pimpinan KPK. “Apakah mereka takut boroknya akan dibongkar kedua Jenderal Polisi yang akan menjadi pimpinan KPK tersebut?,” ucapnya.
Seharusnya, lanjut dia, pihak-pihak yang mempersoalkan LHKPN tersebut menggugat KPK, apalagi status audit Badan Pemeriksa Keuangan untuk KPK berpredikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Selain itu, KPK juga diketahui menolak untuk memberikan sejumlah dokumen yang dibutuhkan KPK untuk meng-audit keuangan lembaga anti-rasuah. “Seperti dokumen atau data-data barang-barang sitaan tersangka korupsi, baik yang sudah dilelang maupun belum,” kata Neta.
Padahal, tambahnya, tindakan KPK itu menambrak ayat 1 pasal 24 UU nomor 54 tahun 2004.
Pasal itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana 1 tahun 6 bulan penjara atau denda Rp 500 juta.
Lantas, bagaimana bisa dipercaya jika lembaga pemberantas korupsi justru tak menyandang predikat WTP terkait audit keuangannya? (eda/ed)
Editor: Eriec Dieda