NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mau menerapkan Pasal 21 dan atau Pasal 22 terhadap Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi terkait kasus suap pajak PT E.K. Prima Ekspor Indonesia (EKP). Sebab kasus ini masih dalam proses pembuktian di persidangan.
“Belum ada kesimpulan sejauh itu apalagi penerapan pasal 21 atau 22 karena masih proses pembuktian di sidang,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu, (30/5).
“Kami sedang mencermati bukti-bukti, tapi prisnipnya saksi harus berkata benar dan tidak boleh ada pihak lain yang mempengaruhi saksi,” ucapnya.
Lebih jauh Febri mengatakan pihaknya saat inj masih menyimak sejumlah fakta persidangan dan fokus terhadap penanganan perkara dua terdakwa yakni Direktur PT EKP Ramapanicker Rajamohanan Nair dan Pejabat Ditjen Pajak Handang Soekarno.
“Tapi pada prinsipnya saksi harus berkata benar dan tidak boleh ada pihak lain yang mempengaruhi saksi,” tegas Febri.
Pada sidang 17 Mei 2017 lalu, terungkap Ken mengumpulkan seluruh pihak di direktoratnya guna memberikan arahan sebelum ada pemeriksaan saksi dalam kasus suap pajak ini. Arahan yang diberikan itu agar para saksi yang diperiksa KPK dalam kasus suap pajak tersebut memberikan kesaksian senada.
Bahkan disebutkan ada instruksi agar hanya Handang Soekarno dan Ramapanicker Rajamohanan Nair yang dipidana. Rajamohanan adalah Direktur Utama PT EKP, sedangkan Handang adalah Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Pajak Direktorat Penegakan Hukum.
Untuk diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Rajamohanan Nair terungkap peran Ken. Setidaknya Ken disebut mengikuti pertemuan di Kantor Ditjen Pajak dan mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap perusahaan Rajamohanan.
Awalnya, PT EKP menghadapi persoalan pajak. Salah satunya, terkait restitusi pajak periode Januari 2012-Desember 2014 sebesar Rp3,5 miliar. Permohonan atas restitusi itu kemudian diajukan pada 26 Agustus 2015 ke KPP PMA Enam.
Namun, permohonan restitusi itu ditolak, karena PT EKP ternyata memiliki tunggakan pajak sebagaimana tercantum dalam surat tagihan pajak dan pertambahan nilai (STP PPN) tanggal 6 September 2016.
Tunggakan tersebut sebesar Rp52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.
KPP PMA Enam juga mengeluarkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Alasannya, PT EKP diduga tidak menggunakan PKP sesuai ketentuan, sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan tidak sebagaimana semestinya.
Rajamohanan kemudian meminta bantuan Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv, agar membatalkan tunggakan STP PPN tersebut. Haniv kemudian menyarankan agar PT EKP membuat surat pengaktifan PKP ke KPP PMA Enam.
Pada 22 September 2016, Haniv kemudian bertemu dengan temannya, Arif Budi Sulistyo. Arif merupakan penghubung yang juga kenal dengan Rajamohanan.
Dalam pertemuan itu, Arif meminta supaya ia dipertemukan dengan Ken. Keesokan harinya, Handang Soekarno pun mempertemukan Arif dengan Ken di Lantai 5 Gedung Ditjen Pajak.
Setelah pertemuan itu, Haniv memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johnny Sirait agar membatalkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Perintah tersebut merupakan arahan dari Ken Dwijugiasteadi.
Kemudian, beberapa hari setelah setelah Rajamohanan dan Handang bertemu untuk membicarakan kesepakatan pemberian uang, Muhammad Haniv atas nama Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan pembatalan tagihan pajak terhadap PT EKP.
Dengan demikian, tunggakan pajak PT EKP sebesar Rp52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015, menjadi nihil.
Dalam surat dakwaan, Rajamohanan menjanjikan fee kepada Handang sebesar Rp6 miliar. Namun, saat baru terjadi penyerahan pertama sebesar Rp1,9 miliar, keduanya ditangkap oleh petugas KPK.
Reporter: Restu Fadilah
Editor: Eriec Dieda