EkonomiHeadlineHot TopicPolitik

Mencermati Masalah Pertembakauan Nasional

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Memperbincangkan dunia pertembakauan memang menarik perhatian. Di Indonesia, isu tembakau ini diperdebatkan bahkan dipertentangkan sejumlah pihak. Pro dan kontra seperti tak bisa lepas dari dinamika kepentingan berbagai kalangan.

Lantas apa sebenarnya di balik semua dinamika tersebut? Redaksi mencoba untuk merangkum kembali sejumlah fakta terkait dengan dinamika pertembakauan, khususnya di level nasional.

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyebutkan, sekitar 3 juta jiwa petani tembakau, buruh tembakau dan keluarga petani/buruh yang tersebar di seluruh Indonesia. Terkhusus di 16 propinsi penghasil tembakau. Jawa Timur tercatat memiliki 47 persen dari total lahan tembakau secara nasional. Selain itu tercatat pula Temanggung, Weleri, Wonosobo, Klaten, Boyolali, Lampung, Deli hingga Nusa Tenggara Timur (NTB) diketahui daerah penghasil tembakau di Indonesia.

Bahkan, Indonesia disebut-sebut adalah salah satu penghasil tanaman tembakau terbesar dunia. Tembakau lokal Indonesia juga dikenal memiliki kualitas nomor wahid.

Simak: Dinamika Dunia Pertembakauan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, persoalan pertembakauan menjadi sangat komplek. Di antaranya kampanye anti tembakau, persaingan kretek melawan rokok putih, dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan payung hukum yang jelas tentang pertembakauan nasional. Terkini, masalah pokok pertembakaun Indonesia sudah masuk pada soal kuota impor yang dibuka lebar tanpa pembatasan. Persoalan ini secara langsung dinilai menghantam jatung petani tembakau nasional. Belum lagi masalah membanjirnya produk rokok yang konten impornya tinggi, yang berdampak langsung pada penggunaan bahan lokal yang menurun drastis.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Secara umum, regulasi dari pemerintah dinilai belum menjawab berbagai persoalan terkait pertembakauan nasional. Bahkan sebagian kalangan justru menilai regulasi cenderung tidak memihak kepada kepentingan nasional, khususnya PP 81 Tahun 2009 yang berdampak pada pengalihan selera rokok dan berpindahnya konsumen rokok alias meninggalkan kretek.

Menurut APTI, peran pemerintah dalam mengawal hasil tembakau dan proses penjualan ke industri belum maksimal. Negara juga belum sadar terhadap sumbangsih tembakau sebesar Rp140 triliun. DBHC tembakau yang cukup tinggi tidak digunakan untuk kepentingan produksi dan pengembangan produk tembakau, malah dialihkan ke sektor lain. Dan malah digunakan untuk kampanye anti rokok. APTI sendiri meminta pemerintah menjembatani antara petani tembakau dengan industri rokok. Dan APTI dengan tegas mendorong pemerintah agar segera mengesahkan RUU Pertembakauan agar para petani memiliki payung hukum. Sebab, RUU Pertembakauan diklaim merupakan usul dari petani sendiri dengan tujuan melindungi budidaya tembakau nasional. Soal kuota impor menjadi perhatian serius dalam RUU Pertembakauan tersebut.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Prabowo Gibran, Anton Charliyan berbaur dalam Acara Kampanye Akbar di GBK Senayan

“Hubungan petani dan industri tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah selalu absen dalam menjembatani petani dan industri, sehingga petani selalu korban dari kepentingan pemerintah dan industri,” kata peneliti dari Indonesia Berdikari, Gugun El Guyani kepada redaksi dalam suatu kesempatan. Ia menuding, Menteri Kesehatan mendapat suntikan dana segar dari Bloomberg untuk kampanye anti rokok. Eropa dan Barat ketika kalah dalam bisnis, pasti menggandeng rezim kesehatan global dalam memanipulasi informasi dan memerangi produk lokal seperti kretek. Untuk itu, rezim kesehatan global dinilai telah menghancurkan semua bisnis dan produk lokal Indonesia, tak terkecuali industri kretek. Undang-undang kesehatan pasal 13-15 melarang rokok dan semua produk tembakau.

Terakhir, Sekjen Gappri Hasan Aoni Aziz juga menilai isu farmasi dan rokok adalah murni bisnis dan bukan soal kesehatan. Peraturan yang dibuat pemerintah selama ini telah dipengaruhi politik farmasi. Sebab, Amerika Serikat selalu berupaya keras melindungi tembakau lokalnya, yaitu milik Philip Moris. Sehingga kebenaran ilmiahnya cenderung dipaksakan seperti iklan bertajuk “Rokok Membunuhmu”.

Baca Juga:  DPC Projo Muda Nunukan Nyatakan Komitmennya Pada Gerilya Politik Untuk Menangkan Prabowo-Gibran Satu Putaran

Sekadar catatan, Presiden Joko Widodo sendiri tampaknya agak dilema dalam menyikapi RUU Pertembakauan. Pada Rapat Paripurna DPR Kamis (6/4) lalu Presiden menunjuk sejumlah menteri sebagai wakil pemerintah guna membahas RUU tersebut. Presiden mengajukan beberapa pertimbangan dalam pembahasan pertembakauan nasional. Di antara pertimbangan tersebut meliputi aspek kesehatan, konsumsi produk tembakau yang dikatakannya 3,2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu, 4,2 kali dari pengeluaran untuk beli daging, 4,4 kali dari biaya pendidikan dan 3,3 kali lebih besar dari biaya kesehatan; aspek kelangsungan hidup para petani tembakau dan para pekerja yang hidupnya sangat bergantung pada industri hasil tembakau; serta, kondisi ketenagakerjaan dan perlindungan bagi pekerja pabrik di industri hasil tembakau.

Penulis/Editor: Eriec Dieda/Diolah dari berbagai sumber

Related Posts

1 of 31