NUSANTARANEWS.CO – Maskapai penerbangan Garuda Indonesia merupakan perusahaan penerbangan National Flag Carrier yang sedang berusaha keluar dari keterpurukan masalah keuangannya. Melalui mandat yang diberikan oleh pemegang saham mayoritas, Garuda Indonesia bersama dengan manajemen yang baru mendapatkan amanat untuk memperbaiki kinerja Garuda Indonesia secara fundamental.
Secara jujur, memang tidak mudah untuk memperbaiki kinerja Garuda Indonesia saat ini. Diperlukan adanya konsolidasi dan hubungan yang solid antara manajemen Garuda dengan seluruh pemangku kepentingan terkait di Garuda – termasuk jajaran pegawai Garuda Indonesia. Namun, tentu menjadi situasi yang sulit bagi manajemen saat ini untuk dapat menjawab berbagai tantangan kinerja operasional Garuda Indonesia saat ini ditengah tengah situasi iklim kerja yang tidak kondusif.
Terlepas dari berbagai kendala tersebut, di tahun 2018 PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) membidik laba bersih US$ 8,7 juta dan pendapatan US$ 4,9 miliar pada 2018. Adapun pada tahun lalu, maskapai penerbangan pelat merah ini mencatatkan rugi bersih (yang termasuk extraordinary expenses) sebesar US$ 213,4 juta, dibandingkan 2016 yang mencetak laba bersih US$ 9,3 juta.
Berbicara mengenai kondisi operasional, Garuda Indonesia juga turut mencatatkan berbagai peningkatan kinerja yang signifikan dengan target on time performance di tahun 2018 yang ditargetkan menyentuh kisaran 91 persen. Ini menjadibukti adanya progress kemajuan yang dilakukan oleh Manajemen Garuda bersama Karyawannya.
Memasuki tahun 2018 yang disambut dengan iklim industri penerbangan yang semakin penuh tantangan, perusahaan Garuda Indonesia pun menargetkan pertumbuhan kapasitas penumpang hingga mencapai 9-10 persen. Pencapaian tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen dan Karyawan Garuda khususnya melihat proyeksi nilai tukar mata uang US Dollar yang terus menguat terhadap Rupiah, tentu akan jadi tantangan yang berat dimana airlines bisnis dalam operasionalnya sebagian besar mengunakan US dollar.
Terkait rencana aksi demo Karyawan Garuda Indonesia yang dimotori oleh Sekber Garuda yang mempermasalahkan masalah susunan Direksi dari hasil RUPS 19 April 2018 rasanya menjadi kurang tepat sasaran. Hakekatnya Serikat Pekerja itu harus memperjuangkan domain kesejahteraan Pekerja dan kalau di BUMN lebih spesifik menjaga agar BUMN memiliki keberlangsungan bisnis yang menjanjikan sebagai perusahaan pelat merah yang memiliki daya saing yang kompetitif.
Sebagian besar pihak menyayangkan aksi yang saat ini dicanangkan oleh Serikat Bersama tersebut. Banyak yang menduga aksi tersebut ditunggangi oleh pihak pihak yang ingin mengambil kepentingan dari kisruh internal yang dialami maskapai pelat merah tersebut yang kemudian dimanfaatkan terkait kepentingan bisnis dan iklim persaingan industri penerbangan saat ini.
Pada dasarnya visi dan perspektif membangun kinerja perusahaan yang baik yang disuarakan serikat bersama tersebut merupakan hal yang patut diamini. Namun, ketika upaya aspirasi tersebut yang dicanangkan melalui agenda mogok kerja berdampak pada ketidakstabilan kondisi operasional perusahaan tentunya menjadi hal yang serius perlu didiskusikan. Apalagi jika ini menyangkut hajat konsumen Garuda Indonesia.
Lebih lanjut apakah kemudian menjadi ideal mengukur kualitas kinerja manajemen yang baru terpilih? Rasanya tidak cukup bijak ketika Serikat Bersama tersebut tidak menyediakan ruang dan waktu yang kondusif untuk manajemen menjalankan amanat yang ditugaskan.
Sekiranya memang manajemen menunjukan ketidakselarasan upaya dalam mendukung perkembangan perusahaan sudah selayaknya serikat bersama sebagai “orang lama” turut mengingatkan dan memberikan masukan yang membangun dan bukan selalu menjadikan opsi ultimatum menjadi pilihan satu satunya.
Lantas apakah kemudian menjadi bijaksana ketika “menunjuk” manajemen yang hakekatnya “dipilih” untuk mengemban tugas menjalankan perusahaan serta konsumen yang tidak tahu apa apa menjadi pihak yang harus menerima konsekuensi dari perspektif ketidaksetujuan serikat atas keputusan pemangku kepentingan terkait?.
Pada dasarnya serikat pekerja adalah “orang dalam” yang tentunya sudah pintar berhitung potensi kerugian seperti apa yang akan dialami perusahaan ketika indikasi tekanan dan ultimatum mogok kerja disuarakan.
Rasanya kita kemudian kembali harus berpikir keras untuk menerka motif rekan rekan serikat pekerja dan APG tersebut. Jika memang yang mereka perjuangkan adalah keberlangsungan operasional perusahaan, justru melalui aksi yang mereka canangkan akan mencederai hal hal yang mereka pperjuangankan.
Sekarga Dan APG harus berhati hati dalam menyuarakan kepentingan Pekerja di Garuda, masih ada jalan yaitu dengan mediasi misalnya, serta memberikan masukan-masukan yang berupa kritik membangun untuk kemajuan Garuda tentunya dengan tetap mengedepankan komitmen kebersamaan untuk Garuda Indonesia yang lebih baik.
Penulis: Tri Sasono, Sekretaris Jenderal FSP BUMN Bersatu