Kohesi Nasional Dan Kendalanya

Kesenjangan pembangunan di DKI Jakarta. Foto ilustrasi/ist

Kesenjangan pembangunan di DKI Jakarta. (Ilustrasi/Nusantaranews)

Oleh: Sayidiman Suryohadiprojo (Bag. 2)

NUSANTARANEWS.CO – Faktor Agama. Faktor lain yang dapat menjadi kendali bagi kohesi nasional adalah faktor agama. Telah terbukti dalam sejarah umat manusia betapa mudah terjadi pertentangan tajam dalam tubuh satu bangsa karena perbedaan agama. Kita teringat terjadinya Perang 30 Tahun di Eropa Barat dari tahun 1618 hingga 1648 karena pertentangan antara para pengikut agama Katolik dan agama Protestan, sekalipun mereka sama-sama berpusat pada agama Kristen. Lebih parah lagi adalah Perang Salib yang dilakukan oleh para pengikut agama Kristen yang ada di Eropa terhadap bangsa-bangsa beragama Islam di Timur Tengah yang berlangsung sepanjang abad ke 12 dan ke13.

Agama mengandung aspek emosional yang amat kuat. Kalau kepercayaan seorang pengikut satu agama sampai tersinggung oleh ucapan dan perbuatan orang yang lain agamanya, maka mudah sekali emosinya terbakar dan ia berbuat sesuatu tanpa kendali diri. Bahwa faktor agama sangat besar pengaruhnya dapat dilihat betapa bangsa Barat yang sudah begitu maju dalam ilmu pengetahuan, toh senantiasa menjaga agar kehidupan mereka tidak dipengaruhi agama. Itu menandakan mereka tidak yakin bahwa kekuatan rasio mereka dapat mengatasi dan menetralisasi emosi yang dapat ditimbulkan oleh agama. Konsep negara sekuler, yaitu bahwa dalam segala urusan yang bersangkutan dengan negara tidak boleh dibawa faktor agama, merupakan hasil dari sikap itu. Kebijaksanaan setiap pemerintah Jerman sejak Otto Von Bismarck menjadi perdana menteri hingga sekarang yang menyangkut pendidikan, yaitu bahwa seluruh pendidikan umum dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi harus dan hanya boleh diselenggarakan oleh pemerintah, bersumber pada kekhawatiran bahwa pendidikan umum yang dilakukan oleh tiap-tiap agama mengandung benih perpecahan bangsa. Di situ nampak sekali bahwa agama dapat merupakan kendala bagi kohesi nasional satu bangsa yang sudah amat maju.

Indonesia adalah satu bangsa yang di dalamnya ada pengikut dari semua agama resmi yang ada di dunia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dengan mayoritas sebanyak lebih dari 80 persen penganut agama Islam. Adalah satu kenyataan bahwa dibandingkan dengan banyak bangsa lain, Indonesia menunjukkan kehidupan agama yang cukup toleran hingga masa kini. Hal itu dapat menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, karena itu merupakan indikasi adanya kendali diri dan tepo seliro atau tenggang rasa yang cukup tinggi mutunya antara para pemeluk agama.

Namun harus pula kita sadari, bahwa keadaan ini dapat berubah kalau kita tidak waspada. Justru dengan kemajuan yang makin pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi timbul kerawanan yang besar terhadap toleransi antara umat beragama. Sebab kemajuan itu tidak jarang menimbulkan kehendak untuk menguasai dan berkuasa lebih besar lagi. Apalagi kalau ada pemimpin agama yang mengajarkan kepada pengikutnya, bahwa agama mereka mengharuskan untuk menyebarkan kepercayaannya kepada sebanyak mungkin orang yang berbeda kepercayaan. Kalau kemudian terjadi usaha untuk mempengaruhi pengikut agama lain agar pindah agama, maka akan timbul bahaya pertentangan agama yang gawat.

Oleh sebab itu kita melihat di Indonesia bahwa malahan dalam masa Orde Baru, ketika rakyat makin berkembang pendidikannya dan kehidupan ekonominya, terjadi sengketa antar-agama lebih banyak ketimbang sebelumnya. Seharusnya orang yang lebih banyak mengalami pendidikan juga lebih dapat menggunakan pikiran dan perasaannya secara terkendali dan ada tenggang rasa yang lebih baik. Akan tetapi yang justru sering terjadi adalah bahwa bertambahnya pengetahuan menimbulkan meningkatnya ambisi untuk berkuasa. Itu juga di kalangan agama yang hendak melihat agamanya makin banyak menguasai jumlah penduduk. Gejala itu juga jelas sekali di dunia Barat.

Yang harus pula diwaspadai adalah bahwa tidak mustahil ada pihak luar Indonesia berusaha menimbulkan kericuhan antar-agama di negara kita, baik karena mempunyai rencana meluaskan kepercayaannya di Indonesia yang demikian besar penduduknya maupun untuk maksud politik negara tertentu.

Adalah sangat bijaksana dan tepat bahwa Pancasila mengandung nilai Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahkan sebagai nilai pertama. Itu menunjukkan bahwa Republik Indonesia bukan negara sekuler. Dengan begitu kita tidak bermain politik burung onta, seakan-akan agama tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Dan karena itu agama selalu menjadi perhatian negara untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi juga menunjukkan bahwa Republik Indonesia bukan negara agama atau negara yang dikuasai oleh satu agama tertentu, meskipun lebih dari 80 persen rakyatnya pemeluk agama Islam. Ini penting sekali untuk membina persatuan seluruh bangsa, karena kepercayaan dari seluruh rakyat dihargai dan diperhatikan.

Orang tidak dapat menolak kenyataan bahwa meluasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia menimbulkan rasa kehampaan spiritual. Apabila itu dibiarkan begitu saja, maka yang terjadi adalah seperti yang dialami oleh bangsa AS berupa peristiwa David Koresh di Waco, Texas dan oleh bangsa Jepang berupa Aum Shinri Kyo, yaitu tumbuhnya sekte-sekte yang memanipulasi kehampaan spiritual manusia dengan segala akibatnya yang amat negatif. Oleh sebab itu peran agama justru menjadi makin penting dengan makin meluasnya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun peran agama itu harus benar dan tepat arahnya untuk dapat memberikan pengaruh yang diperlukan umat manusia. Agama harus dapat menghasilkan mendalamnya iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan bukan hanya sekedar menjalankan sekian banyak ritual dan upacara belaka. Kalau itu dapat tercapai, maka agama dapat memberikan jawaban tepat kepada pengaruh yang makin luas dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekali gus akan tercipta toleransi antar-agama. Sebab orang yang sungguh-sungguh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak akan mengadakan pertentangan dengan orang yang lain kepercayaannya. Sebab ia sadar bahwa kepercayaan yang berbeda tetap menuju ke arah yang sama, yaitu tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Justru orang yang melakukan pertentangan antar-agama menunjukkan betapa dangkal iman dan takwanya.

Ini merupakan masalah yang harus dihadapi secara serieus oleh semua pemimpin bangsa, tinggi atau rendah, besar atau kecil, dan terutama para pemimpin agama. Banyak sekali pengaruh dari para pemimpin itu terhadap pelaksanaan kehidupan beragama di Indonesia, agar menghasilkan iman dan takwa yang mendalam. Sebaliknya dapat menimbulkan hal yang amat merugikan perkembangan bangsa kalau agama dihadapi kurang tepat. Kalau peran agama di Indonesia berjalan benar, maka dampaknya akan besar sekali kepada pertumbuhan bangsa . Dan tidak menjadi kendala bagi kohesi nasional kita.

Politik pemerintah harus mencegah timbulnya sikap ekstrim di kalangan agama dengan memberikan kemungkinan bagi kaum moderat untuk lebih menonjol. Pada permulaan Orde Baru ada kecenderungan pemerintah untuk menekan agama, khususnya Islam, berhubung dengan jalannya politik praktis. Akibatnya adalah terbuka kesempatan kepada pihak ekstrim di kalangan Islam untuk menonjol dan menarik pengikut. Setelah pemerintah dapat meyakinkan semua golongan politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, termasuk organisasi politik dan kemasyarakatan Islam, maka langkah demi langkah pemerintah dapat bersikap lebih lunak terhadap golongan Islam. Sejak tahun 1990 pemerintah mengakomodasi Islam dengan lebih nyata lagi. Itu semua mengakibatkan bahwa kaum moderat Islam memperoleh tempat yang lebih utama untuk menonjol. Dan kalau masih ada yang bersikap ekstrim, maka orang itu sudah sukar untuk berkembang dan menarik pengikut orang banyak. Dengan berkurangnya pengaruh kaum ekstrim maka juga ada toleransi antar-agama yang lebih baik. Dan memang sejak perkembangan Orde Baru makin banyak tumbuh kalangan terpelajar di lingkungan Islam, sehingga itu juga memberikan kontribusi untuk membuat golongan Islam lebih moderat. Itu juga memperkuat hubungan yang baik antara pemerintah dengan umat Islam.

Tentu pemerintah juga harus memelihara hubungan yang baik dengan semua agama lainnya. Harus dicegah adanya persepsi atau perasaan bahwa pemerintah mementingkan satu atau beberapa agama di atas lainnya. Republik Indonesia tidak boleh mengulangi politik dan perbuatan pemerintah kolonial Belanda yang di masa penjajahan membeda-bedakan agama dan pemeluk agama. Waktu itu agama yang tidak dianut oleh penjajah mendapat tekanan dan pengikutnya didiskriminasi dalam banyak perkara, termasuk dalam memperoleh pekerjaan yang baik. Praktek demikian juga masih berjalan di beberapa negara di dunia, termasuk yang paling maju. Ini tidak boleh terjadi di Indonesia yang berpedoman kepada ideologi Pancasila. Dan praktek begitu juga sangat merintangi timbulnya kohesi nasional yang kuat.

Perkembangan Islam di Indonesia yang menonjolkan kaum moderat adalah sangat menguntungkan, terutama karena di dunia internasional makin sering dikumandangkan tentang bahaya yang timbul dari apa yang mereka namakan Islam fundamentalis. Pengertian yang lebih tepat adalah ekstremis Islam, sebab seorang fundamentalis pada dasarnya bukan orang yang membahayakan. Ia hanya seorang yang ingin menjalankan agamanya secara mendasar. Yang membahayakan adalah ekstremis, karena orang demikian dapat bertindak dengan kekerasan terhadap segala hal yang tidak ia sukai. Berkembangnya Islam yang moderat di Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia pasti memberikan dampak internasional yang baik bagi Indonesia. Hal itu juga baik bagi perkembangan Islam dan umat Islam pada umumnya. Dan dengan begitu juga kehidupan beragama di Indonesia akan lebih tenteram dan tenang sesuai dengan peran agama yang tepat. Kemajuan umat Islam di Indonesia sebagai agama yang dianut lebih dari 80 persen penduduknya, akan besar sekali pengaruhnya terhadap kemajuan bangsa Indonesia dan juga lebih memperkuat toleransi antar-agama di tubuh bangsa kita.

Faktor Kesenjangan Dalam Ekonomi. Kesenjangan yang lebar dalam kehidupan ekonomi juga merupakan kendala bagi kohesi nasional. Adanya sekelompok kecil orang yang amat kaya, sedangkan mayoritas rakyat masih hidup dalam kesukaran yang amat besar, tentu menimbulkan perasaan yang tidak menguntungkan. Perasaan itu dapat menyulut berbagai masalah sosial dan keamanan apabila sudah amat kurang terkendali.

Meskipun Indonesia termasuk salah satu negara yang diakui keberhasilannya dalam pengurangan jumlah penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dapat diungkiri bahwa masih sekitar 27 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan satu jumlah yang melebihi seluruh penduduk Malaysia. Selain itu, tentu penduduk yang sudah keluar dari kategori itu tetapi masih berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan masih besar jumlahnya. Itu sebabnya dapat dikatakan bahwa masih banyak orang yang miskin, meskipun sudah di atas garis kemiskinan. Andai kata semua orang Indonesia miskin, seperti yang kita alami pada periode tahun 1945 hingga 1950, tidak ada kesenjangan. Dan karena itu juga tidak ada berbagai perasaan yang negatif dalam masyarakat. Meskipun ada kelemahan bangsa dalam bidang ekonomi.

Akan tetapi sekarang ada sekelompok kecil yang menguasai bagian terbesar penghasilan nasional. Jadi antara orang yang termasuk kelompok kecil itu dan mayoritas penduduk Indonesia terjadi satu kesenjangan ekonomi yang bukan main lebarnya. Kalau sekarang dikatakan bahwa penghasilan rata-rata penduduk Indonesia adalah sekitar $ 730, maka itu sama sekali tidak memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan sebenarnya. Sebab orang yang termasuk kelompok kecil yang kaya itu mempunyai kehidupan, jadi juga penghasilan, yang paling rendah sama dengan penghasilan rata-rata penduduk Singapore sekitar $ 18.000. Maka dapat dihitung betapa rendahnya penghasilan rata-rata penduduk yang tidak termasuk golongan kecil itu, kalau penghasilan rata-rata keseluruhan penduduk Indonesia hanya $ 730, yaitu jelas jauh di bawah $ 700. Keadaan ini terang sekali merupakan kendala bagi kohesi nasional.

Masalah ini merembet ke faktor etnik atau malahan ras, karena kebanyakan yang termasuk golongan kecil yang kaya adalah dari etnik Cina. Sebab itu perasaan anti-Cina yang sering kali dikhawatirkan sebagai sumber berbagai kericuhan, pada dasarnya tidak semata-mata karena faktor etnik atau ras, melainkan karena faktor kesenjangan ekonomi. Jadi kalau kita ingin menghilangkan perasaan anti-Cina dengan segala kemungkinan negatifnya untuk Indonesia, maka yang pertama-tama harus kita lakukan adalah makin menghilangkan kesenjangan ekonomi yang lebar.

Yang perlu diusahakan adalah makin bertambah banyaknya penduduk yang termasuk golongan menengah, baik itu golongan menengah bawah, menengah tengah maupun menengah atas. Sebaliknya harus diusahakan agar jumlah penduduk yang termasuk golongan bawah makin sedikit. Jalan utama yang harus ditempuh adalah makin meningkatkan jumlah usaha kecil dan menengah, sehingga makin banyak pengusaha kecil dan menengah yang semua termasuk golongan menengah, yaitu golongan menengah bawah dan menengah tengah. Karena perusahaan kecil dan menengah mempunyai kemampuan terbaik untuk menyediakan kesempatan kerja, maka makin banyak terdapat perusahaan kecil dan menengah, makin banyak pula tersedia pekerjaan bagi penduduk. Itu berarti bahwa pengangguran makin hilang dan makin banyak rakyat mempunyai penghasilan. Kalau perusahaan kecil dan menengah makin maju, maka penghasilan pekerjanya juga meningkat. Dengan begitu makin bertambah lagi jumlah golongan menengah bawah dan meningkatnya orang dari golongan menengah bawah ke menengah tengah. Proses inilah yang perlu kita lakukan dan kembangkan terus untuk dapat menghilangkan kesenjangan ekonomi yang begitu lebar.

Sebaliknya terhadap orang-orang yang kaya harus diadakan penarikan pajak yang progressif, sehingga kekayaan mereka sekurang-kurangnya masih mempunyai dampak sosial. Kita dan Pancasila tidak melarang orang menjadi kaya, tetapi kekayaan orang harus pula memberikan dampak positif kepada masyarakat, selain kepada orangnya sendiri. Menjalankan politik perpajakan yang tepat adalah usaha untuk memasyarakatkan kekayaan perorangan. Sebab dengan pajak yang makin meningkat penerimaan Negara juga meningkat. Dan itu amat diperlukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu sekolah-sekolah yang harus diadakan untuk menjadikan makin banyak rakyat mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebab dengan adanya kesenjangan ekonomi juga timbul kesenjangan dalam kemampuan, sedangkan itu disebabkan oleh kesenjangan dalam pendidikan. Dalam keadaan sekarang hanya anak orang kaya yang memperoleh pendidikan bermutu yang dapat menumbuhkan kemampuan tinggi. Yang dinamakan sekolah unggul sangat terbatas jumlahnya dan tidak dapat memberikan kesempatan yang luas kepada anak Indonesia yang makin besar jumlahnya dan tersebar di wilayah yang luas.

Hanya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah dapat dilakukan secara luas dan mencapai setiap anak Indonesia. Akan tetapi kalau pemerintah kurang dananya, tidak mungkin dapat diselenggarakan pendidikan yang bermutu. Sebab tidak akan mungkin mempunyai guru yang bermutu dan memadai jumlahnya untuk sekian ratus ribu sekolah dasar dan sekolah menengah. Tidak mungkin memberikan penghasilan dan kehidupan yang memadai bagi guru, sehingga profesi guru kurang menarik bagi pemuda yang cakap. Dan pekerjaan guru menjadi kurang bermutu. Juga pemerintah yang kurang dana tidak mungkin meningkatkan kondisi sekian banyak sekolah dasar dan menengah, seperti pengadaan perpustakaan di tiap-tiap sekolah untuk merangsang kegemaran membaca atau pengadaan lapang olah raga yang memadai bagi setiap sekolah. Sebab mayoritas anak Indonesia masih miskin dan tidak mampu masuk sekolah swasta yang unggul dan bermutu, maka pemerintahlah yang harus menyelenggarakan sekolah yang bermutu dalam jumlah yang memadai bagi seluruh bangsa. Itu juga konsekuensi dari wajib belajar 9 tahun dan itu memang amat penting bagi kohesi nasional. Pelaksanaan pendidikan umum yang lebih bermutu dan mencapai mayoritas anak Indonesia juga sangat penting untuk perkembangan agama dan etnik.

Dengan pendidikan yang lebih bermutu rakyat akan mempunyai kecakapan dan kemampuan yang lebih tinggi. Dengan kecakapan dan kemampuan itu dapat diperoleh tingkat penghasilan dan kehidupan yang lebih baik. Pasti itu juga berpengaruh terhadap kemampuan berusaha rakyat pada umumnya. Lambat laun perbedaan tingkat kehidupan mayoritas rakyat dengan sekelompok kecil penduduk, khususnya yang keturunan Cina, akan amat berkurang.

Kalau penghasilan rakyat makin baik, maka pasti perasaan anti-Cina akan makin hilang. Itu sudah dapat dilihat dalam pengalaman Malaysia. Karena itu WNI keturunan akan menjadi warga negara yang lebih baik pula, karena tidak lagi merasa dibedakan dan dikucilkan dalam masyarakat, dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada Republik Indonesia. Inilah yang perlu kita usahakan, sebab kalau tidak demikian tidak mustahil bahwa justru mereka akan lebih bermanfaat bagi pihak lain atau dimanfaatkan pihak lain.

Penutup

Telah dicoba untuk menganalisa kendala-kendala apa yang dapat dihadapi usaha bangsa Indonesia untuk memperkokoh kohesi nasional. Dalam uraian ini hanya tiga faktor yang dikemukakan sebagai kemungkinan kendala terhadap kohesi nasional. Tidak mustahil bahwa ada lebih banyak lagi, tetapi tiga faktor ini merupakan yang terutama membahayakan kohesi nasional. Dan karena itu memerlukan pendekatan yang paling bijaksana.

Harus selalu kita sadari bahwa kohesi atau persatuan nasional merupakan hal yang amat penting bagi negara dan bangsa Indonesia. Meskipun kita tidak pernah setuju dengan pernyataan orang sebelum Indonesia merdeka, bahwa tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka yang bersatu karena banyaknya perbedaan yang ada di dalamnya, namun kita harus selalu waspada jangan sampai pernyataan itu menjadi kenyataan. Apalagi pasti pihak-pihak yang tidak setuju dengan kemajuan bangsa Indonesia akan menggunakan faktor perbedaan itu untuk melemahkan kekuatan bangsa kita dan bahkan tidak mustahil memecah negara kita menjadi berkeping-keping. Bhawa usaha politik demikian bukan karangan belaka dibuktikan oleh adanya istilah politik balkanisasi, yaitu usaha politik untuk memecah-mecah bangsa lain seperti yang terjadi di wilayah Balkan.

Sebab itu dalam segala keadaan kita harus senantiasa menempatkan persatuan bangsa sebagai prioritas utama yang tidak dapat ditinggalkan. Tamat.(as/disunting dari sayidiman.suryohadiprojo.com)

 

Exit mobile version