NUSANTARANEWS.CO – Menjelang matahari merangkak naik ke ubun-ubun, saya bergegas melakukan chek-in di stasiun Lempuyangan. Sebab kereta api yang saya tumpangi akan segera bergerak menuju Malang. Gerbong kereta api terasa lengang saat saya memasukinya. Tenang, bagai ucapan selamat datang yang syahdu.
Peluit kereta api tujuan Malang melengking keras bagai seorang perempuan cerewet yang sedang memarahi anak-anak nakal. Saya sudah duduk manis di samping jendela kereta, tempat ternyaman ketika menumpangi kereta. Perjalanan menuju stasiun Malang ditempuh kurang lebih 7 jam, akan terasa jenuh namun saya menyukainya.
Laju kereta mulai terasa lambat, pertanda kereta akan berhenti distasiun. “Stasiun Malang,” saya bergumam. Lalu saya segera bersiap-siap untuk turun tak lupa sebelumnya mengabari teman yang sudah siap menjemput saya. Turun dari kereta disambut dengan udara sejuk kota batu. Tak lama menunggu akhirnya datanglah mas Qirun, teman saya yang akan menemani langkah kaki menapaki tanah para Dewa, gunung Semeru.
Tak menunggu waktu lama, saya segera menaiki motor yang dikendarai mas Qirun. Sebelum berangkat ke pos Ranu Pani, mas Qirun mengajak saya ke rumahnya untuk beristirahat. Jadilah malam itu saya menginap dirumah mas Qirun, sebab pendakian akan kami mulai keesokan harinya.
Embun menggelayut di dedaunan, azan subuh menggema bagaikan seloroh rotan guru ngaji sewaktu kecil. Walau dalam keadaan kantuk yang luar biasa ditambah hantaman dingin kota Malang, saya dengan malas bangun dari tempat tidur untuk mandi dan selanjutnya bersiap diri sebab pukul 06.00 WIB kami akan segera beranjak menuju pos Kalimati.
Tak kusangka mas Qirun dan dua adiknya yang akan turut serta menemani pendakian saya sudah siap sedari tadi. Jadilah saya tersenyum tanpa rasa bersalah, huf.. Sebab mereka sedari tadi telah menunggu. Setelah memastikan semua peralatan lengkap tidak ada yang kurang lagi, kami pun berpamitan dengan orang tua mas Qirun.
Dalam perjalanan tentunya sangat penting mengetahui kapan akan terus melangkah dan kapan akan berhenti. Hal ini berguna agar kondisi raga tetap terjaga dan tidak terkapar di perjalanan apalagi terkapar di tanah para dewa, sayang sekali bukan.
Pendakian ke gunung Semeru saya tempuh selama tiga hari dua malam. Gunung Semeru merupakan destinasi yang sudah saya goreskan setelah menjejak di Nusa Tenggara Timur. Dimulai dari pos pendakian Ranupani, kami mengawali pendakian dengan berdoa terlebih dahulu.
Tak berbeda dengan gunung-gunung di pulau Jawa lainnya, tak pernah sepi. Di jalur pendakian kami berjumpa denga pendaki lainnya. Cuaca tidak terlalu panas saat itu. Mendung mulai menyelimuti perjalanan kami dan tak lama kemudian ketika di pos tiga kabut mulai menutup jalur pendakian. “Semoga tak hujan,” saya bergumam.
Kabut yang sedari tadi membuntuti perjalanan kami menuju Ranu Kumbolo perlahan hilang. Keringat perlahan membasahi wajah. Tak terasa di depan telah menunggu sang putri Semeru, Ranu Kumbolo.
Kami mempercepat langkah kaki. Walaupun cedera lutut yang saya idap selama di NTT kembali kumat. Tak apalah sedikit lagi sampai di hamparan dada putri cantik ini, Ranu Kumbolo. Kami sepakat untuk beristirahat terlebih dahulu, memasak mie serta air untuk membuat kopi. (Acik/Ed. Red-02)
Bersambung….., Gunung Semeru, Jumat, 5 Agustus 2016
Selanjutnya baca ini:
Para Dewa Gunung Semeru Belum Mengantarku ke Puncak Mahameru
Penulis: *Acik. Dia adalah perempuan penyuka rembulan, senja, kabut, dan kopi. Penyanjung kesunyian dan selalu senang dengan budaya serta ritual adat ini Lahir di Pangkalpinang, 16 Oktober 1992. Traveler yang juga menulis puisi ini bisa dihubungi di Email: [email protected])