Esai

Membaca Madura Sebagai Kearifan Dalam Puisi – Esai Matroni Muserang*

NUSANTARANEWS.CO – Ketika saya membaca antologi puisi penyair perempuan Sumenep, Benazir Nafilah “Madura: Aku dan Rindu” 2015 ingin saya tegaskan bahwa Sumenep bukan hanya sebuah nama Kabupaten an sich, namun Sumenep adalah rahim yang mengandung kearifan lokal budaya yang harus dibaca eksistensinya dengan perangkat metodologi yang tidak hanya satu, namun beragam.

Antologi puisi Benazir mencoba menguak dan membaca kearifan itu lewat puisi. Namun puisi tidak bisa menjadi pengetahuan publik jika puisi hanya untuk puisi. Maka dalam esai sederhana ini saya ingin mencoba menguak sesuatu di balik fisik puisi atau sesuatu yang dibalik bahasa puisi, inilah penting hermeneutik dalam membaca teks-teks dan simbol yang dibuat oleh kreator.

Puisi bukanlah teks mati, namun puisi merupakan makhluk hidup yang bisa berdialektika dengan makhluk lain, namun untuk berkomunikasi dengan puisi kita membutuhkan perangat metodologi sebagai instrument untuk mengetahui maksud dari teks puisi tersebut.

Puisi Buppa ben babbu misalnya saya melihat tidak hanya bermakna ayah dan ibu sebagaimana diartikan penyairnya sendiri, namun Buppa sebenarnya kakek, kakeknya kakek atau buyut, artinya silsilah dari kakek ke atas, karena dasar katanya bertasydid. Seperti halnya juga babbu yang berarti silsilah dari ibu.

Silsilah dalam keluarga ini penting untuk kita ketahui, karena orang yang sudah meninggal akan mendoakan kalau kita mendoakan, sebab mereka sudah tidak memiliki nafsu. Bahkan dalam ilmu gaib ada seseorang yang mampu berkomunikasi dengan orang meninggal, bahkan mereka bisa memberi pengetahuan kepada kita. Kita mau belajar kepada alim/wali Allah dalam ilmi gaib bisa. Belajar tafsir, belajar silat, belajar puisi, belajar tahfidz, namun pengetahuan ini tidak semua orang mampu, hanya orang-orang pilihan.

Artinya puisi Buppa ben babbu memberikan isyarat kepada pembaca bahwa pertama orang tua adalah sosok wakil Tuhan, misalnya Anisy-kurlie waliwalidaik (bersyukurlah kalian kepadaku, baru kedua orang tua), misalnya ridhallahi fi ridhal walidain, wasuhthullahi fi suhthil walidain (ridhanya kedua orang tua, sama halnya dengan ridhanya Tuhan dan kemarahan Tuhan sama halnya dengan kemarahan kedua orang tua). Artinya Buppa ben babbu memberikan penyadaran kepada manusia agar tidak berani dan durhaka terdapa kedua orang tua.

Wajar jika di Sumenep anak-anak yang dari kecil diantar ke langgar atau surau hingga dewasa, maka mereka tidak akan berani terhadap kedua orang tua. Artinya pendidikan menjadi hal yang sangat urgen, namun pendidikan yang manfaat berangkat dari bagaimana anak-anak juga pendidikannya terhadap orang tua.

Sumenep yang mayoritas masyarakatnya berpendidikan, namun seringkali Buppa ben babbu tidak menjadi perhatian sebagai jembatan untuk menuntut ilmu dan pengetahuan. Buppa ben babbu adalah jembatan paling jitu bagi kita untuk menjadi manusia unggul kata Nietzche, namun banyak di antara kita yang justeru berani terhadap kedua orang tua. Mengapa?

Karena kita sudah tidak mengenal lagi Masjid Jami’(hlm; 67), apakah masjid dan apakah jami’ dalam puisi Benazir ini? Masjid adalah tempat beribadah. Ibadah adalah sebuah tindakan, maka kalau masjid tempat ibadah, kita berbakti pada kedua orang tua juga ibadah, dan ibadah kepada orang tua adalah ibadah yang jami’ yang besar. Sebab Buppa ben babbu tempat manusia ruah dari segala penjuru.

Artinya Buppa ben babbu merupakan masjid jami’ dan pintu awal yang mengantarkan kita pada Pencipta. Namun sebelum kita sampai pada Sang Maha, ada Maha lain yang harus kita pelajari dari puisi yaitu sebuah kearifan Sumenep yang sampai hari ini terus digempur dari kearifan orang lain. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi kearifan asing yang bertamu ke Sumenep? Apakah kita meninggalkan kearifan Sumenep atau kita belajar kemudian melestarikan kearifan Sumenep?

Mari pertanyaan ini kita jawab bersama dan tanggung bersama dan lestarikan bersama. Karena di rumah Sumenep ada Buppa ben babbu, Mon Kerras pa Akerres, Celurit, Garam, Karapan Sapi, Jagung, Singkong, Tembakau, Suramadu, Madura, Nyiur, Saronen, Tong-Tong, Alun-Alun Sumenep, Klenengan Kraton, Sate, Masjid Jami’, inilah salah satu kearifan Sumenep yang harus di baca kata Benazir dalam antologi puisi “Madura: Aku dan Rindu”.

Madura sebuah tempat bagi Aku. Aku ini siapa? Aku adalah sosok yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang holistik-universal dalam mengelolah kekayaan budaya yang ada di Sumenep, maka Aku sosok yang selalu Rindu terhadap pengetahuan dan ilmu yang terus berkembang, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, tafsir, dan lain sebagainya.

Madura: Aku dan Rindu” satu kesatuan dalam menciptakan kearifan Sumenep tetap dilestarikan, namun tanpa ada “Madura: Aku dan Rindu” yang memiliki komitmen yang kuat, amanat, tanggungjawab dan sungguh-sungguh mengelolah kekayaan lokal, maka kearifan Sumenep akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kemanusiaan yang ada di Sumenep. Bukankah kekuatan sebuah Negara tergantung seberapa kuat budayanya.

Madura: Aku dan Rindu” sebuah kekuatan jika ketiganya saling berdialektika, bergandeng tangan untuk berinteraksi-berintegrasi dan ber-interkoneksi dalam mencapai titik temu dialektika-dialogis di rumah Sumenep yang mendamaikan dan memakmurkan. Semoga. (*Matrone Muserang, Penyair, Esais, dan Aktivis Lesbumi Jawa Timur)

Related Posts

1 of 2