Budaya / SeniKhazanah

Kisah Penduduk Kota Shibam

NusantaraNews.co – Di mana-mana di penjuru dunia ini, ketika kejahatan, permusuhan, sikap saling membenci satu sama lain seakan tiada habisnya, kiranya tak terbayangkan ada sebuah tempat dimana penduduknya lebih suka mengalah ketimbang ribut saling ngotot merasa paling benar sendiri, dimana masyarakatnya lebih mengutamakan memenuhi hak orang lain ketimbang dirinya sendiri.

Shibam, kota kecil tandus di negeri Yaman, adalah tempat di masa lalu dengan penduduk seperti itu. Bahkan konon, saking sulitnya mencari orang bertikai, Hakim di negeri itu bertanya kepada penduduk kota, “Mengapa di antara kalian tidak pernah ada pertengkaran?” Penduduk Syibam menjawab, “Penghuni kota ini telah didamaikan oleh Allah dengan firmannya : “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.” (Asy-Syura, 42 : 40). Karenanya, apa yang hendak engkau hakimi jika kami telah bersatu?”. Sang Hakim, akhirnya hanya bisa masuk keluar kantor setiap hari tanpa ada seorang pun datang berkunjung untuk meminta keputusan sengketa.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Suatu hari, setelah menjalani rutinitas menjemukan itu selama empat belas tahun dan merasa tak kuat lagi, Hakim itu berdoa, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhan yang tak pernah membuat kesia-sian atas apa yang telah Engkau tetapkan. Datangkanlah satu persoalan di antara penduduk kota ini agar takdirku sebagai seorang Hakim ada gunanya.” Allah memperkenankan doa Sang Hakim. Keesokan harinya, datang dua orang menemuinya.

“Ada apa?”, tanya Hakim.

“Kami ada masalah,” jawab salah satu dari mereka.

“Alhamdullillah,” jawab Hakim sambil tersenyum. “Selamat datang, selamat datang. Duduklah, dan ceritakanlah persoalan kalian”.

Salah seorang dari mereka bicara.

“Aku membeli sebidang tanah dari dia ini. Tapi ternyata di dalam tanah tersebut ada harta karun emas. Pada harta itu terdapat tanda-tanda peninggalan jaman dahulu (masa sebelum Islam). Berarti harta itu adalah rikaz.”

“Benar,” Hakim mengomentari.

“Nah, bila itu rikaz, maka sudah seharusnya harta itu menjadi hak pemilik tanah pertama. Aku mendatanginya dengan membawa harta itu, namun ia tak mau menerimanya karena ia telah menjual tanah itu padaku,” lanjut orang itu.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Apresiasi Digelarnya Festifal Budaya Banjar

Hakim bingung, tapi ia lanjutkan, “Sekarang kamu, jawablah”, kata Hakim kepada yang satunya.

“Hakim yang mulia, tanah itu berikut isinya telah saya jual. Saya tidak berhak lagi atas tanah itu. Waktu menjualnya saya tidak berkata “saya jual tanah ini tanpa harta karunnya”. Harta itu ada di tanah yang telah saya jual, maka sudah seharusnya menjadi milik si pembeli.”

Hakim makin bingung.

“Bagaimana pendapat kalian”, kali ini ia bertanya kepada keduanya. Mereka menjawab.

“Yang mulia, Anda memahami shari’at Allah, ambillah harta ini dan gunakanlah”

“Kalian berdua ingin menyelamatkan diri dan membinasakanku? Tidak bisa begitu!”, tukas Hakim.

“Jika demikian, adili kami,” pinta keduanya.

“Sabar. Kalian punya anak?”

“Ya, aku punya anak perempuan”.

“Kamu?”

“Aku punya anak laki-laki.”

“Bagus. Sekarang keluarkan seperlima harta itu untuk zakat, karena itu rikaz. Sisanya empat perlima gunakan untuk pernikahan putra-putri kalian. Selesai. Sekarang pergilah kalian dari tempatku”, putus sang Hakim. []

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Penulis: Fahmi Faqih
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

No Content Available