Khazanah

Keraton Sebagai Patron Kultural Masyarakat DIY

NUSANTARANEWS.CODIY merupakan daerah yang sangat menarik di tengah keberagaman NKRI. Dimana Yogyakarta satu-satunya daerah yang masih kuat mempertahankan adat-istiadat, haritage, hingga sistem pemerintah daerah yang bercorak kerajaan.

Berdasarkan konsep herarki yang berlaku bagi masyarakat DIY, keraton Yogyakarta yang dipimpin Sultan memiliki kedudukan tertinggi dalam kehidupan sosial. Kedudukan inilah yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan kebijaHkan.

Misalnya soal penolakan Sultan Hamengkubuwono X (13/7/2017) mengenai pembangunan jalan tol di DIY. “Di Yogya tak ada jalan tol. Pemerintah Pusat juga sepakat, saya (Sultan Yogya) tidak setuju adanya jalan tol, karena rakyat tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalau jalan mau diperlebar itu silakan saja, tetapi jangan dibikin tol,” kata Sultan.

Memang, tak bisa disangkal, keraton menjadi ruh jalannya roda pemerintahan. Dengan kata lain, posisi keraton turut memiliki pengaruh besar terhadap keputusan-keputusan kebijakan.

Keraton Yogyakarta merepresentasikan akan simbol budaya adiluhung Jawa. Sekalipun sudah berjalan lebih dari dua setengah abad lamanya, namun keberadaan Keraton Yogyakarta masih menjadi patron kultural masyarakat DIY dan sebagian masyarakat Jawa Tengah.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Sekalipun demikian, tak lantas menempatkan status Keraton sebagai patron politik. Bukan karena alasan keraton tidak memiliki bergain dalam kacah politik, melainkan sikap netral keraton demikian sebagai upaya untuk menunjukkan kebebasan berdemokrasi.

Keraton tidak menginginkan masyarakat menjadi ‘tumbal’ dari berbagai kepentingan politik. Sebagai contoh mengenai jalan tol, mengapa dirinya menolak, sebab Sultan paham bahwa pembanguan tol di Yogyakarta hanya akan menguntungkan bagi segelintir kelompok saja. Bukan untuk rakyatnya.

“Keberadaan tol iku, sing diuntungke mung pihak yang membuat tol saja, tetapi rakyat di skelilingnya gak dapat apa-apa, karena jalan tol itu ditutup, orang di kiri kanan tol tak memiliki akses ke jalan itu kecuali harus bayar dan seringkali harus mutar-mutar dulu dan jauh pula. Kalau wilayah di luar Yogya, mau bikin tol, ya silakan saja,” katanya.

Jalan tol, ia pandang sebagai salah satu bentuk penjajahan ekonomi rakyat. Bagaimana tidak? Hanya sekedar untuk lewat jalan di tempatnya sendiri rakyat diwajibkan untuk bayar. Ironisnya lagi, selama ini tol diselenggarakan oleh pihak swasta dan nantinya orang yang lewat jalan tol dikenai tarif bayar yang tidak murah.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Apresiasi Digelarnya Festifal Budaya Banjar

Editor: Romandhon

Related Posts