Kepada Zilan
I
Selalu tentangmu, Zilan. Pagi dan siang meremas perasaan, terikat di penghujung kemarau, burung-burung mulai bersendiwara, melafalkan dosa-dosa kita yang telah gugur menjadi cahaya, di sana selalu aku tenun beragam makna, mencari sumber kepercayaan dari riak ombak dan hujan, meski kepergianmu mulai bertandang pada daun-daun yang berjatuhan, aku rayu angin dan mata hari, supaya kelukaan ini cepat kita sadari, sadar untuk menempuh jalan menuju tuhan, sebelum nama-nama musim kandas di kegelapan, seandainya kau baru saja datang dari doa yang telah aku kirimkan, barangkali kau akan lebih tau, bahwa waktu dan bisu adalah ragu, maka cinta yang aku kendarrai sepanjang malu, terpaksa aku ambil demi keserasian hidup yang berdenting,
II
Zilan; Daun-daun yang gugur di akhir petang, dan rindu-rindu yang selalu ramai, seakan-akan menyambut raut cintamu yang mulai pudar, sementara aku bagun dengan mimpi kesiangan, lupa pada arah jalan pulang, tempat segala pesona engkau tuangkan di tepi jalan, tapi aku sangka tak mengapa, kalau rasa yang kau arsir adalah rindu, dan di hatimu segala kemungkinan cepat berlalu, aku akan berkelana mencari pertanyaan-pertanyaan di dasar cahaya, yang dulu kita buang di selat luka. Zilan sahabatku, jika suatu kali, kesedihan kita perkenalkan lagi, akankah kita saling bunuh diri Sebab kelukaan dilahirkan di waktu pagi, aku kira tida, kita hanya butuh sepasang belati, agar hidup yang kita kendarari selalu berakhir dalam tuntunan Ilahi.
Lubtara, 2019
Surat untuk Emak
Masih untukmu. Mak
Kertas putih yang hitam dengan kerinduan
Pada tetesan airmata yang kesepian
Angin yang terasa beraroma semakin tawar
Menemani bisikan luka dalam perjalanan
Dan gunung yang aku daki sangatlah tinggi
Memuncaki doa-doamu di tengah sunyi
Di tanganmu. Mak
Tempatku menatap kebeningan cermin
Menentukan segala simbangan angin
Dengan kebimbangan yang merapa ingin
Padahal , hanya rindumu. mak
yang kian menderu
Bagi anak musim yang di rahasiakan waktu.
Lubtara, 2019
Banjir Rindu
Aliran hujan di kotamu
Membentur sampah-sampah layu
Mengendap di sungai kesakitan
Tempat aku memancing segala ingatan
Di sana ribuan masalalu mengalir
Hinggap pada kedalaman takdir
Tumpah di dalam pasrah
Dan basah dari segala resah
Cukup di tanahmu
Aku di bekukan oleh rindu
Hujan dan kembang selalu merayu
Maski dingin mengutukku.
Lubtara, 2019
Bencana Luka
Aku di hanyut banjir
Tapi, bukan dengan banyaknya air hujan
Melainkan dengan air matamu, sanyang
Di saat tanah-tanah lomgsor menutupi rasa cinta
Entah pada bagian amana engkau mulai lupa
Tentang janji suci yang seharusnya abadi,
Sajakku hilang
Tenggeelan di tanah perantawan
Luka dan bangga hanya milik musim
Dalam perjalanan yang tak perlu di tafsir
Lubtara, 2019
Pesona Luka
Pada bagian rasa
Di mana segala suasan
Telah menguncup pada purnama
Lahir dengan sabilah rahim luka
Tempat segala rasa menemukan pesona
Di situlah aku terjebak
Memanah renung seperti sajak
Padahal auramu begitu panas
Di atas jalan yang tak mengenal batas
Maka aku berlari
Di bawah tetesan hujan pagi
Pergi dan datang hanya milik sendiri
Menjelang doa terbit di batang sunyi
Sementara warna-warna yang aku kenal
Di antara bangga dan kebosanan
Selalu aku raba lewat ketenangan
Meski duka telah menguncup kedalam angan.
Lubtara, 2019
Sebatang Sunyi dalam Secangkir Kopi
Pada pekat air hangat
Akucerminkan segala rindu
Di bulan yang penuh kelabu
Dingin-dingin merayu jantungku
Tersenyum pada setiap detak
Selapas sajak mulai beranjak
Dari cangkir berbunga
Aku dengar bisikan lukamu pecah
Gugur mengiringi kelopak mawar di taman
Selepas rindu bergerak dalam angan
Pada gairahku
Kulepas semua masalalu
Seperti kepekatan kopi
Ketika bernyanyi di ruang sunyi
Lubtara, 2019
Senyum Calon Pemilu
Barangkali benar
Ia dilahirkan pada sebuah kamira
Yang pasti untuk di pandang
Dan selebihnya menarik perhatian
Kata-kata yang terpang-pang di sisinya
Lebih tampan dari tampangnya
Bahkan lebih pasti dari bisik hatinya
Adapun senyum yang di kenakan
Menusuk pada setiap hayalan
Tersusun dengan jelita, melebihi
Senyum rindu pada kekasihnya
Lubtara, 2019
Penulis: BJ AKID, Lahir di Lebbeng Barat Pasongsongan Sumenep, Madura, Menulis Puisi Dan Cerpen. Saat Ini Masih Tercatat Sebagai Santri Pondok Pesantren Annuqayah. Menjadi Ketua Komunitas Laskar Pena PPA Lubtara, Sekaligus Pengamat Literasi Di Sanggar Becak Dan Komunitas Surau Bambu.