NUSANTARANEWS.CO – Terkait kecelakaan beruntun kapal tradisional, pengamat mengatakan bahwa syahbandar kerap mengabaikan pelaksanaan aturan. Seperti ramai diberitakan, KM Cikal tenggelam di Banggai, Sulawesi Tengah pada 12 Juni. Pada hari yang sama, KM Arista karam di perairan Makassar. Setidaknya 17 penumpang tewas dalam kejadian itu. Kemudian sehari setelahnya, kapal cepat Albert pecah lambung di Selat Bangka dan menyebabkan tiga penumpang tewas.
Terbaru menyusul KM Sinar bangun yang tenggelam di perairan Danau Toba pada Senin (18/6) sekira pukul 17.15 WIB saat berlayar dari Pelabuhan Simanindo menuju Pelabuhan Tiga Ras di Kabupaten Samosir. Sebanyak 166 penumpang hilang, 18 selamat, dan satu orang dipastikan meninggal dunia akibat insiden tersebut.
Pengamat pelayaran dari lembaga National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, mengatakan bahwa Kementerian Perhubungan sebenarnya sudah memiliki regulasi yang mengatur syarat, izin, dan standar keamanan kapal kecil di bawah 500 gross ton (GT).
Regulasi itu adalah Surat Keputusan Jenderal Perhubungan Laut No. Um.008/9/20/DJPL-12 tentang Pemberlakuan Standar dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia atau Standar Kapal Non Konvensi (SKNK).
Standar itu memuat detail material bahan, konstruksi, kelistrikan, hingga alat keselamatan yang harus tersedia di dalam kapal.
Namun, menurut Siswanto, syahbandar atau otoritas tertinggi di pelabuhan kerap mengabaikan pelaksanaan aturan itu.
“Syahbandar umumnya fokus ke kapal yang berbobot 500 GT ke atas atau kapal penyeberangan yang berbahan besi, yang lebih besar dibandingkan kapal tradisional,” ungkapnya. Di kapal besar, ada berbagai prosedur dan alat keselamatan standar ketika kapal mengalami musibah. Sementara di kapal tradisional tidak ada. Syahbandar harus mengingatkan ini, tambah Siswant0.
Terkait kecelakaan beruntun tenggelamnya kapal tradisional di beberapa daerah di tanah air, Kepala Humas Ditjen Perhubungan Laut, Gus Rional, mengatakan, jika saja syahbandar mengawasi dengan ketat setiap kapal yang hendak berlayar, potensi kecelakaan tentu dapat diperkecil.
Paling tidak, tidak boleh melebihi kapasitas dan minimal harus ada perlengkapan keselamatan seperti life jacket, kata Rional.
“Kalau kapasitas berlebihan atau tidak tersedia pelampung, kapal bisa tidak diizinkan berangkat, syahbandar tidak memberikan surat persetujuan berlayar,” tambahnya..
Dengan serangkaian kecelakaan pelayaran yang menimpa kapal tradisional di berbagai daerah ini, Rional mengakui bahwa memang perlu ada pengawasan yang lebih ketat, terutama bagi kapal-kapal tradisional. (Banyu)