NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai kuatnya cengkeraman World Trade Organization (WTO) dalam mempengaruhi kebijakan di sektor pertanian tidak hanya merusak kedaulatan petani kecil di Indonesia, tetapi juga petani dunia lainnya.
Sebagai contoh, WTO melakukan intervensi kepada pemerintah Indonesia untuk mengubah peraturan-peraturan di sektor pertanian maupun pangan yang dinilai tidak sesuai dengan rezim perdagangan bebas.
“Hal ini tampak dari digugatnya pemerintah Indonesia di dalam WTO terkait beberapa kasus, seperti gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru atas kebijakan pemerintah Indonesia yang berusaha melindungi pangan produk petani dan nelayan kecil,” ujar Henry Saragih dalam keterangannya, Selasa (10/9/2019).
Kondisi itu lanjut dia, kemudian berdampak pada dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24 Tahun 2018, untuk merevisi Permentan No. 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam Permentan tersebut pemerintah harus memperlonggar regulasi impor terkait produk-produk pangan, tanaman hortikultura, dan produk hewan.
“Sejak didirikan pada tahun 1995, upaya-upaya WTO untuk mendorong deregulasi, ekspansi modal global di sektor pertanian, dan perdagangan bebas merupakan ancaman terhadap upaya penegakan kedaulatan pangan di suatu negara,” ungkap Henry.
Ia menjelaskan, keberadaan WTO dan perjanjian perdagangan bebas mendapatkan perlawanan dari para petani kecil yang tergabung di dalam La Via Campesina. Sebagai gerakan petani internasional, La Via Campesina, selama lebih dari 20 tahun telah mengorganisir perjuangan untuk melawan WTO dan praktik-praktik liberalisasi pertanian dan perdagangan bebas di dunia.
La Via Campesina telah memobilisasi aksi di hampir semua Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, sejak Seattle (1999), Cancún (2003), Hongkong (2005), sampai ke Bali (2013) dan Nairobi (2015).
“Salah satu momen penting terkait perlawanan petani terhadap WTO adalah aksi bunuh diri seorang petani asal Korea Selatan, Lee Kyung Hae, pada tanggal 10 September 2003. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah berjalannya aksi protes dari para petani menyikapi pertemuan Tingkat Menteri WTO di Cancun, Meksiko. Tindakan Lee Kyung Hae untuk mengakhiri hidupnya, merupakan wujud dari kefrustrasian petani kecil yang menjadi korban dari perdagangan tidak adil yang dijalankan WTO,” ujarnya.
Kematian Lee Kyung Hae pada tanggal 10 September 2003 kemudian diperingati sebagai Hari Aksi Global Melawan WTO dan FTA yang diperingati setiap tahunnya oleh petani La Via Campesina yang terdiri atas 183 organisasi dan tersebar di 81 negara.
Pewarta: Romadhon